Tuesday, October 28, 2008

Tak Ada Blumbang, Ember pun Jadi


Rencananya, saat membawa Dahan mudik, ayah ingin mengenalkan Dahan pada kehidupan alami yang agak liar. Liar dalam artian yang manusiawi tentu saja. Liar dalam artian berani lebih terbuka dengan alam. Liar dalam artian tidak menabukan beberapa hal beresiko yang sebelumnya dihindari. Mandi di mata air alami misalnya, seperti blumbang (kolam penampungan mata air alami) atau di kali yang masih asri.

Ternyata, rencana tinggalah rencana. Tak ada lagi mata air. Getir. Tapi tak perlu menjadi air mata. bagaimana pun memang ada banyak jalan menuju roma. Tak bisa mandi di blumbang alami dan tak bisa mancing di kali asri tak harus membuat rencana tinggal kenangan.

Di halaman belakang rumah embah Takeran, ada beberapa kolam ikan yang terisi. Kebetulan tempatnya pun cukup asri. Ada pohon dadap yang meneduhi, pohon jambu monyet, mangga, pepaya, kangkung, ubi, kopi, bunga liar dan juga bunga-bunga masa kini yang ditanam mbah kakung.

Meski sumur timba yang tradisional tak ada lagi, sumur pompa mini bisa mewakili. To be or not to be. Mumpung masih di desa, Dahan pun harus belajar kembali alami. Setiap hari menjalani ritual mandi liar yang alami. Dimulai dari memberi makan ikan hias milik embah, ritual Dahan pun berlanjut menjadi main-main bersama ikan di kolam, melayarkan perahu-perahu dari kelopak bunga Aphorbia yang berwarna-warni. Asyik berkecipak-kecipak sampai basah dan sedikit menggigil didera dingin. Karena seluruh badan bau amis, maka ritual terakhir adalah mandi.

Sebuah bak cuci, di isi air dari pompa mini. Itulah tempat Dahan mandi setiap hari. Di tengah bunga-bunga Aphorbia yang sebagian masih kuncup. Jambu monyet yang berjatuhan karena matang tanpa ada yang mau mengkonsumsi. Langit cerah yang biru tanpa polusi. Biarlah.... saat mandi, Dahan mencoba kembali menjadi alami. meski tak bisa dipungkiri, ember plastik tetaplah tidak alami.

Sunday, October 26, 2008

Tak Ada Lagi Bola Plastik di Lapangan Kenangan

Dulu. Ramai. Hiruk pikuk anak-anak selalu meramaikan lapangan itu. Ayah Dahan salah satunya. Berteriak-teriak ceria, bertelanjang kaki tanpa peduli. Toh suburnya rumput yang menghijau mampu meredam peluang lecet gesekan kaki telanjang dan tanah lapangan. Bola plastik yang murahan pontang-panting menjadi kejaran. Disepak ke sana ke mari sampai bocor di banyak sisi. Terkadang kaki beradu kaki. Dan bola bocor tergencet di tengah-tengahnya. Blang... jessss.... bola kempes tak lagi bisa melesat. Permainan pun dihentikan. Bola plastik diambil dan di pencet-pencet agar kembali bulat dan bisa melesat.

mungkin karena kemarau. mungkin juga karena global warming yang benar-benar telah melangkah sampai di situ. lapangan itu nampak gersang. tidak benar-benar gersang memang. Tapi itu sudah jauh dari yang masih ayah harapkan. tak ada sejumput pun rumput hijau yang masih tersisa. Mungkin terik benar-benar tak memberinya sedikit ampunan. helai-helai sisa rumput kering melayang tertiup angin yang cukup kencang. Tak ada pohon rindang yang bisa dijadikan sedikit perlindungan.

Dulu kata ayah dahan, ada banyak pohon trembesi besar yang berdiri kokoh di pinggir-pinggir lapangan. Rimbunnya yang menyejukkan mampu membuat rumput-rumput bertahan sebagian.Tetap hijau walau kemarau datang menyapa. Terkadang banyak petani yang memotong sebagian daun Trembesi untuk dijadikan pupuk alami. Konon pupuk daum trembesi terkenal bagus untuk disebarkan sebelum menanam padi. Sayangnya petani sekarang lebih percaya pada pupuk jadi hasil industri. Jadi pohon Trembesi tak lagi diminati.

Kata ayah bunga Trembesi sangatlah cantik. Berwarna putih dan merah menyala dengan helai-helai daun bunganya yang menyebar bagaikan payung parasut untuk terjun payung. Satu-dua bunga sesekali jatuh saat masih segar. Berputar seperti kipas, melayang ringan bersama angin. Pelan dan tenang persis seperti parasut terjun payung yang dijatuhkan. Berbeda dengan bunganya yang merah menyala, buah Trembesi hitam kelam. Daging buahnya tipis dan menyatu rapat dengan kulitnya yang berkilat. Panjang dan penuh dengan biji-biji yang juga berwarna hitam. Kalau dipatahkan, buah trembesi akan mengeluarkan getahnya yang kental dan unik rasanya. Kata ayah Dahan sih manis-manis aneh dan enak. Sedangkan untuk bijinya, banyak sekali orang yang bilang enak. Asalkan digoreng sangan (pakai pasir dan tidak pakai minyak goreng).

Katanya ayah Dahan bersama teman-teman kecilnya sering membuat penganan biji trembesi ini. Sangat angin bertiup kencang, ayah dahan dan teman-temannya berlomba mengumpulkan buah-buah trembesi yang dijatuhkan angin. Kalau tidak sabar mereka biasanya melemparnya dengan batu, kayu atau dibidik pakai ketapel. Buah trembesi yang bergantungan dan bergerombol dengan gampang bisa dibidik. kalau sudah terkumpul banyak, mereka memecahkannya dengan batu dan mengambil biji-bijinya. Kemudian di jemur dan akhirnya digoreng sangan (disangray). Sayangnya acapkali ayah dahan dilarang makan biji trembesi terlalu banyak oleh mbah putri. Konon kebanyakan makan biji trembesi bisa menyebabkan batuk. Untungnya kalau kebanyakan makan, biji trembesi yang gurih seperti kacang rasanya berubah jadi agak pahit. Itu sebabnya tanpa dilarang ayah dahan gak pernah makan terlalu banyak.

Hari itu Dahan, ayah dan ibu bermain-main di lapangan. Meski hari masih pagi, semuanya tidaklah begitu menyegarkan. Tak ada embun yang berbulir di atas helai-helai rumput. Tak lagi pohon trembesi yang teduh dan rimbun. Kulihat mata ayah pahit. Getir menyelimuti. Meski bola kulit yang sebenarnya sudah gampang terbeli, kali ini tak ada lagi ramai anak-anak yang bermain ceria, berlarian ke sana-ke mari.

Monday, October 20, 2008

Jagung Muda Buat Sang Gadis Bau Asi






ayo kawan kita berkebun..
menanam jagung di kebun kita
ambil cangkulmu, ambil cangkulku
kita bekerja tak jemu-jemu

cangkul-cangkul, cangkul yang dalam
tanahnya longgar jagung kutanam...



Nah khusus untuk Dahan biar saja mbah kakung yang menanam jagungnya. Dahan tinggal memetiknya untuk bahan sup sarapan bikinan ibu. Untuk sang gadis kencur yang masih bau asi, tentu saja cukup jagung muda yang masih lunak dan manis. Soalnya kata mbah kakung yang sudah tua hanya bisa untuk makanan ternak atau dibikin tepung. Mumpung masih pagi, berembun segar dan tidak panas buruan saja dahan maen di kebun jagung. waaah ternyata asyik juga loh. Andai Dahan bisa punya kebun jagung sendiri di Jakarta, tentu lebih asyik lagi.

Wednesday, October 15, 2008

Mata Air Itu Sirna di Depan Mata

Kata ayah, di kampung semangnya dulu ada beberapa mata air alami yang benar-benar berkualitas sempurna. Tak kalah dengan air kemasan Aqua. Tak pernah kering meski terik kemarau menghajarnya.
Bening airnya menggericik dari bawah akar pepohonan raksasa yang mungkin saja berusia purba. Mengalir tenang, membentuk kali kecil yang meliuk menyusuri pinggiran kampung, dan membelah kelokan-kelokan pesawahan desa.
Bermacam ikan air tawar hidup ceria di dalamnya. Ada wader, bader, kutuk (ikan gabus), udang kali, cucut mini, jembluk, sepat, welut, dan lele liar yang tahan banting.
Mata air itu benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat di sana. Para petani tetap bisa menanam padi di musim kemarau, dan anak-anak bisa belajar berenang tanpa takut terserang penyakit kulit, serta memancing ikan sebagai permainan senggang.
Kata Ayah mbah kakung biasa memancing ikan gabus di kala hari terik dan memancing lele saat hujan rintik turun semakin deras. Tapi awas... patil (sengat) lele lokalnya cukup beracun. Banyak orang yang menjadi panas dingin karena dipatil ikan lele itu. Konon ayah pernah merasakannya.
Sayangnya, sekarang ayah dahan harus kecewa. Pasalnya mata air tersebut telah benar-benar sirna. Tersedot oleh pompa-pompa air raksasa yang dipasang oleh petani-petani serakah, ditambah dampak pemanasan global yang bukan lagi menjadi mitos belaka.
Nampaknya ayah benar-benar harus menelan kekecewaan yang cukup besar. Tak ada lagi kesempatan, untuk mengajak Dahan melayarkan perahu pelepah daun pisang, yang dulu biasa ayah mainkan di waktu kecil bersama teman-teman masa udiknya. Kesempatan itu, benar-benar telah melayang sirna.

Tuesday, October 14, 2008

Mudik Muter-muter di Takeran

Takeran adalah sebuah desa kecamatan kecil di lereng timur gunung Lawu, di wilayah Kabupaten Magetan Jawa Timur. Di salah satu lokasi di Takeran tersebut, tepatnya di sebuah tempat yang dulu kaya akan mata air alaminya, terdapat sebuah pesantren setengah tradisional dan setengah modern. Di komplek pesantren Sabilil Muttaqien inilah rumah tempat ayah Dahan dilahirkan masih berdiri sampai sekarang. Tidak begitu tegak, tidak pula begitu kokoh. Tapi cukup kuat dan masih bersemangat melawan tantangan-tantangan waktu yang mencoba mengikisnya.

Di rumah tua itulah sekarang Mbah Kakung dan Mbah Uti (orang tuanya ayah) tinggal. Mereka cuma berdua. Yah cuma berdua karena ketiga adik ayah Dahan yang semuanya laki-laki tengah belajar mandiri. Om Iwok tinggal di desa tetangga bersama mertua, Om Uki dan Om Arik bertualang dengan bekerja pada kapal pesiar yang berkeliling eropa dan amerika.


Tak begitu banyak berubah, kata ayah begitulah kondisi Takeran sekarang ini dibandingkan dengan saat ayah masih kecil dulu. Wah... asyik dong. Mudik kali ini, Dahan dan ayah akan muter-muter bergembira di Takeran tercinta. Dengan begitu ayah bakalan bisa bernostalgia dengan sepuasnya. Nampaknya ayah tak begitu merasa, bahwa sebuah kekecewaan besar telah siap menantikannya dengan wajah yang biasa-biasa saja.