Wednesday, October 10, 2007

misteri senyuman terindah


Konon bayi belum bisa melihat sama sekali sampai usia tiga bulan. meski begitu, selalu saja banyak ekspresi sang bayi yang bisa membuat kita merasa bisa berkomunikasi. ada tatap mata seolah menyapa, dan ada senyuman bersahabat yang hangat dan akrab. adakah mereka benar-benar belum bisa melihat? Tuhan benar-benar maha penuh misteri. Tanda-tanda kekuasaannya bagi mereka yang mau menyelami.

Bisa jadi benar dahan belum bisa melihat. Tapi ayah ibu yakin bahwa kami bisa berkomunikasi. Bukankah sejak dalam kandungan pun kami telah selalu berkomunikasi. Komunikasi melalui hati adalah komunikasi yang paling haqiqi. Karena itulah ayah dan ibu benar-benar berbunga hati ketika sesekali dahan sunggingkan senyum yang tak tertandingi. Yang penting kami telah saling mengerti. hati kami benar-benar saling mengisi. Benar-benar bukan basa-basi. semuanya berjalan secara alami.

Kala senyum si kecil merekah. Semua derita terasa musnah. Resah tak lagi berbongkah. Hanya doa yang luapkan berkah. Harapan indah yang selalu bertambah seiring usia si kecil yang terus melangkah. Pelan-pelan merembah kehidupan nyata. Membawa bahagia yang benar-benar melimpah ruah.
Teruslah tersenyum anakku, begitu kata ayah. Bagikan ceria pada dunia kita. Jangan menyerah pada misteri yang menyelubungi. Tetaplah merekah bersama bunga-bunga indah, yang ditanam Yangti di halaman rumah untuk menyemarakkan tempat yang kita punya. Selamanya... yah selamanya. Tebarkan berkah terindah. Agar tak pernah patah. Agar Jalinan hati yang kita semai kan terus berkecambah. Tak kenal kata menyerah.

Boleh Dipandang, Jangan Pernah Dipegang


Tuhan itu maha indah. Itu sebabnya apapun yang diturunkan langsung dari tangan Tuhan selalu saja dipenuhi dengan keindahan. Tak heran siapa pun, dimana pun, dari mana pun, kalangan apapun, orang tuanya, seorang bayi selalu saja lahir dengan pesona dan daya pikat yang benar-benar indah. Entah tangisnya, jeritnya, rajuknya, menguapnya, marahnya, apalagi senyum dan tertawanya, semua tak ada yang bikin orang tidak suka.
Akhirnya di semua tempat, setiap ada kelahiran selalu ingin dipestakan. Selalu saja banyak orang-orang yang datang. Selalu saja banyak orang-orang membezuk. Selalu saja banyak orang-orang membawa hadiah. Dan akhirnya selalu saja banyak orang-orang yang ingin mencolek, menyentuh, mengelus, dan kalau ada kesempatan, berusaha mencium sang bayi yang begitu polos dan murni memikat. Bisa jadi karena sayang, bisa jadi karena doyan, bisa jadi karena terpikat, bisa jadi karena basa-basi dan bisa jadi bukan karena apa-apa. Hanya iseng, jaga etika, atau sekedar ikut-ikutan semata.
Nah parahnya, bayi yang masih polo, susah untuk bisa lolos dari suasana seperti di atas. Cium di sini cium di sana, pegang di sini pegang di sana, colek di sini colek di sana, seluruh tubuh akhirnya rata. Beragam manusia membawa beragam aroma dan tak jarang membawa kuman penyakit yang tidak kentara. Bayi yang masih polos, tak bisa lagi lolos dari ancaman penyakit-penyakit bawaan orang-orang dewasa yang telah dipenuhi beragam dosa. Pilek bisa jadi sudah dianggap penyakit biasa, tapi tak sedikit bayi yang tertular penyakit berat seperti flek paru-paru, TBC, kulit dan penyakit lain-lainnya yang notabene dibawa oleh orang-orang yang menjenguknya.
Jauh sebelum dahan lahir, ibu dan ayah banyak mendengar cerita di atas. itu sebabnya saat dahan kecil ibu dan ayah mati-matian untuk menjauhkan dahan dari serbuan tangan dan ciuman orang-orang yang berdatangan menjenguk. Yangti pun tak kalah perduli. Telepon dari Pakde Nono yang melarang orang untuk asal mencium dan penyentuh dahan membuat yangti sangat hati-hati. "Bayi itu adalah jimat yang harus dijaga, bukan suguhan untuk tamu kita!" begitu tegas Yangti mengingatkan. Meski mungkin terkesan sombong, phobia, keterlaluan atau dianggap melebih-lebihkan, ayah ibu dan yanti tak perduli. Pokoknya siapapun tamu yang berkunjung tak boleh memegang dahan apalagi menciumnya. Biarlah tamu yang datang beramah-tamah dengan mereka yang dewasa saja. Jangan libatkan bayi polos untuk keramahtamahan yang tidak diperlukan. Biarlah bayi cantik, asyik tak terusik. Boleh saja dipandang, tapi jangan pernah dipegang.

Monday, October 8, 2007

Asyiknya Bergelut Selimut & Bedhong

Entah siapapun orangnya, jelas-jelas kita harus berterima kasih kepada penemu selimut. kain apapun, asalkan sudah menjadi apa yang disebut maka selalu saja memiliki daya pukau yang melenakan bagi manusia. sayangnya ayah gagal mencari siapa penemu selimut itu yang sebenarnya, atau memang orang abai untuk mengabadikan namanya? Lagian kenapa pula kita harus berpusing-pusing dengan mencari tahu siapa penemu selimut. Yang jelas selimut adalah salah satu anugerah Tuhan bagi manusia.
Perkenalan dahan pada selimut tidaklah terjadi begitu saja. melainkan memiliki tahapan-tahapan yang pasti dan bersistem. Sejak pertama kali lahir dahan langsung bersinggungan dengan beberapa selimut. Pertama adalah selimut yang dipakai untuk membungkus badan dahan saat baru lahir dan masih bersimbah cucuran darah. Kain selimut yang dipakai dahan untuk keperluan ini adalah kain "jarit" atau secara nasional orang lebih mengenalnya dengan kain batik.
Selimut kedua yang dipakai dahan adalah selimut untuk alas tidur. Untuk lebih menghangatkan badan dan menghindari tempat-tempat berbaring yang tidak bersih maka dimanapun dahan akan ditidurkan maka selalu diberi alas selimut terlebih dulu. Tentu saja untuk keperluan ini, selimut tak berfungsi lagi sebagai mana mestinya. Tapi apa mau dikata, kain selimut memang fleksibel untuk digunakan sebagai apa saja.
Ketiga adalah apa yang disebut "bedhong". Bedhong ini adalah salah satu warisan tradisi lama yang sekarang ini cukup menjadi kontroversial. Konon bayi yang baru lahir masih terbiasa dengan kondisi di dalam kandungan yang hangat dan protektif. Makanya saat awal-awal di luar kandungan, maka bayi akan selalu dikondisikan seperti dalam perut. Nah salah satu caranya adalah dengan membedongnya tersebut. Dengan dibedhong ini maka bayi akan selalu hangat, terlindungi tulang leher dan pinggangnya, bisa lurus kakinya, dan aman wajahnya dari garukan kuku tangan. Itu sebabnya kalau habis mandi dan sudah dibedhong bayi akan cenderung tidur dan tenang.
Tapi di era modern ini masalah bedhong ini ternyata menimbulkan pertentangan antara kalangan pemegang tradisi dan kalangan medis. Menurut ilmu kedokteran diketahui bahwa bayi masih bernafas dengan menggunakan kontraksi perut. akibatnya kalau dibedong terlalu kuat justru akan menyiksa proses pernafasan bayi. Bedhong yang melilit perut dikhawatirkan membuat bayi sulit bernafas. Akibatnya sebagian dokter, bidan dan perawat-perawat modern melarang penggunaan bedhong tersebut, meskipun ada juga beberapa dokter, bidan dan perawat yang secara taktis memodifikasi penggunaan bedhong yang tida melilit kuat bagian perut bayi.Terlepas dari segala carut marut pertentangan tersebut, dahan tetap memilih untuk menggunakan bedhong dengan adaptasi bagian perut yang dilonggarkan. Toh memang yang paling aman adalah memilih untuk di tengah-tengah saja. Dengan begitu tak ada yang terapi yang hilang dan merugikan.
Sampai usia 3 bulan Dahan masih rajin memakai bedhong. Bahkan selewat usia tersebut, Dahan masih beberapa kali memakai bedhong meskipun sudah tidak rutin. Sampai akhirnya sampai pada tahap tidak pernah memakai bedhong sama sekali dan sudah bisa asyik dengan selimut yang dipakai orang pada umumnya. Saking asyiknya sampai-sampai selimut yang digelungkan pada badan dahan acap dimainkan dengan tangannya yang mulai lincah dan dimain-mainkan hingga menutupi wajah. Hari terus berjalan pasti. Dan semakin beranjak gede dahan makin asyik dengan aktivitasnya bersama selimut. Terus asyik bergelut dengan selimut dan terus bereksplorasi mencari keasyikan-keasyikan lain bersama selimut lembut yang selalu menemani saat-saat tidurnya.

Thursday, October 4, 2007

Here We're Happy


Desir tiba, Desir ada membawa bahagia. Hembusnya sepoi, lembut sepertinya tak terasa. Namun sapanya langsung menyentuh jiwa. Sejuk, samar, melenakan, sama sekali tak bawa duka. Kelahiran si kecil Desirangin benar-benar membuat semua menjadi bahagia.
Tak cuma tawa, bahkan jerit tangisnya membuat rindu selalu bersua. Menjadikan keluarga menjadi tujuan yang selalu didamba. Ayah ibu selalu saja bercengkerama. Tak jarang yangti ikut-ikutan tertawa. Desirangin Dedahan Maulia, benar-benar hembusan angin harapan yang menyentuh dahan impian menjadi nyata. Tiba secara sederhana, kala malam maulid yang mulia dinantikan oleh semua manusia. Lelah segera musnah, gundah tak lagi berdaya. Hanya senyum ceria yang tersungging selalu di mulut keluarga.

Wednesday, October 3, 2007

Mengharap Berkah di dalam Aqiqah

Kata orang-orang Aqiqah adalah bukti penebusan. Jadi kalau ada anak belum bisa diaqiqah maka anak tersebut belum ditebus harga jiwanya dari sang pencipta. Mau percaya atau tidak tentu saja terserah kita. Relegi memang tak bisa jauh dari misteri. Munculnya berjuta bahkan tak terbatas interpersepsi menjadikan misteri tersebut tak pernah mati untuk selalu digali. Biarlah masing-masing memiliki interpretasi. Toh akhirnya hanya kita satu persatu yang musti mempertanggungjawabkan diri sendiri serta interpretasi kita kepada sang pencipta yang haqiqi.
Ayah dan ibu dahan tak pernah gampang percaya pada interpretasi orang mengenai bermacam seremoni relegi. Namun ayah dan ibu juga tak pernah gampang menolak mentah-mentah apalagi mentertawakan interpretasi yang dipercaya orang-orang lain. Ayah selalu yakin bahwa sekonyol apapun interpretasi orang akan relegi pasti ada sedikit manfaat yang bisa diterima dengan akal sehat. Menurut ayah mitos-mitos yang berasal dari relegi janganlah dibuang begitu saja. Tetapi harus kita gali lagi dan kita tafsirkan dengan pemikiran yang lebih sederhana dan masuk akal.
Aqiqah bukanlah mitos. Aqiqah adalah salah satu ibadah yang maknanya banyak diartikan masyarakat sebagai mitos-mitos tentang penebusan jiwa. Menurut Ayah aqiqah jelas-jelas merupakan ibadah. Naif rasanya jika kita menyamakan Tuhan sang pencipta dengan kantor pergadaian. Sang pencipta tak memerlukan penebusan kita. Apalagi penebusan yang seperti transaksi jual beli. Orang tua mendapat titipan anak dari Tuhan dan mereka menebus jiwanya dengan kambing aqiqah. Alamaaak... apa seimbang sih jiwa manusia dengan seekor kambing. Itu sebabnya ayah lebih percaya bahwa aqiqah adalah ibadah syukur, bukanlah aktivitas penebusan yang terkadang justru menjadi beban yang memberatkan bagi mereka yang tidak mampu. Sekali lagi bagi ayah aqiqah adalah sekedar ibadah syukur kepada Tuhan semata. Syukur atas nikmatinya, syukur atas berkahnya, atas karunianya dan atas anak yang sempurna. Jadi untuk mewujudkan rasa syukur itulah sudah selayaknya kita membagi kesenangan berupa nikmatnya daging kambing yang dibagikan terutama kepada orang-orang yang jarang merasakannya.Syukur alhamdulillah. Meskipun bukan pada waktu yang diutamakan dalam islam, akhirnya pada hari ke 40 setalah kelahiran dahan, ayah mendapatkan rezeki untuk melaksanakan Aqiqah di tempat yangti. Syukurnya juga, yangti sangat gembira dan menyambut baik rencana ayah dan ibu. yangti begitu bersemangat dan segera menanyakan harga-harga kambing ke mantan muridnya yang mengerti harga pasar. Eh... tanpa dinyana ternyata mbah Masli, dukun bayinya dahan, memiliki anak yang berjualan kambing. Akhirnya, dengan mentegakan hati untuk menitipkan dahan ke Yangti, ayah dan ibu meluncur ke rumah mbah Masli dengan memakai motor bebek Suprafit milik tante yang ditinggal di rumah yangti.
Gak rugi maksain diri. Di sana ayah dan ibu pun menemukan kambing yang cocok. Gagah, gemuk, sehat dan lincah. Meskipun harganya ternyata cukup jauh di atas perkiraan awal tapi ayah tetap yakin membeli kambing tersebut. Yah... buat anak tersayang kenapa nggak memilih yang terbaik saja, begitu kira-kira pikir ayah. Setelah masalah kambing kelar, selajutnya ayah dan yangti pergi mencari kyai yang akan memimpin doa pada acara penyembelihan. Karena pak kyai adalah teman sekolah Yangti maka kesangupannya pun segera terdengar. Pak Kyai akan datang langsung di lokasi sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan.
Untuk masalah pengolahan dan pemasakan daging, Ibu dan Yangti mempercayakan kepada haji Danone, pengusaha katering yang cukup punya nama di sana. Esoknya, lagi-lagi dengan menguatkan diri untuk meninggalkan dahan bersama Yangti, ibu dan ayah pergi ke rumah haji Danone untuk membuat kesepakatan. Setelah haji danone sepakat, maka kita pun tinggal menunggu hari-H semata.
Jumat, 4 Mei 2007 adalah hari aqiqah dahan. Rumah haji danone yang terletak di tengah-tengah sawah masih nampak kelabu tersaput kabut yang pelan-pelan terusir panas mentari. Rumput-rumput yang tumbuh liar di pinggir jalanan beraspal nampak berkilau oleh butiran-butiran embun yang bulat gemerlap. Pagi-pagi sekali, subuh, anak mbah Masli telah mengantarkan kambingnya ke rumah haji danone untuk disembelih. Sekitar jam 7 ibu lagi-lagi memberanikan diri meninggalkan dahan bersama Yangti dan bersepeda motor bersama ayah untuk menjadi saksi pemotongan kambing aqiqah dahan. Kabut tinggal tipis tak berarti, butiran embun tinggal satu dua, jam yang ditentukan telah lewat beberapa saat, tapi pak Kyai yang akan memimpin doa tak juga nampak di pelupuk mata. Mau tak mau akhirnya ayah bolak-balik mencari ke rumah pak Kyai, ke tempat dia biasa jalan-jalan, dan juga ke rumah yangti. Siapa tahu pak Kyai mampir dulu ke rumah.
Matahari tak mau menunggu. Ibu gelisah agak marah. Haji danone gelisah takut waktu memasak tak bisa tepat. Sesuai saran haji Danone akhirnya ayah dan ibu memutuskan mengundang Kyai mesjid terdekat saja untuk mendoakan prosesi penyembelihan. Setelah pak kyai diundang dan ternyata bersedia maka acara penyembelihan pun dijalankan dengan sakral. Di sela-sela rumpun pisang kampung yang tumbuh tak tertata, di kebonan yang ada pohon pepaya-nya, sang jagal telah siap menetak golok tajam ke kambing aqiqah dahan yang telah terbaring pasrah.
Pelan tapi mantap, berguman tapi khusyu, diamini ayah, ibu dan orang-orang yang ada, pak Kyai menggumamkan doa dan niat Aqiqah. Bersama asma Allah, cepat golok tajam memotong leher kambing gemuk. Darah muncrat sesaat dan kemudian mengalir tenang dan deras memerahi lahan kebonan yang masih lembab oleh embun. Kambing pun menggelepar, mati tanpa perlu merasakan kesakitan. gerbang pintu aqiqah dahan telah dibuka. melaju pelan dan pasti menuju ridho illahi.
Usai sejenak melihat kambing dikuliti, ibu dan ayah pun bergegas pulang ke rumah yangti. Sekarang tinggal giliran haji Danone untuk menyulap kambing yang mati menjadi hidangan yang layak dinikmati.
Sementara itu di rumah Yangti mulai gelisah. Karena cukup lama ibu pergi, dahan bangun dan minta disusui asi. Karena ibu belum juga datang akhirnya yangti terpaksa beraksi. Menggendong dahan dan menenangkannya semampu yang yanti bisa. Sampai akhirnya ibu tiba bersama ayah, dan dahaga dahan pun segera terobati.

Tuesday, October 2, 2007

Bayi Hijau Dipeluk Hijau Alami


Bumiayu adalah kota kecamatan kecil yang tumbuh terlalu cepat. Akibatnya ciri khas kota kecil yang seharusnya unik justru menghilang dari pusat kotanya sendiri. Berada di pusat kota Bumiayu justru kita merasakan kesesakkan laiknya di Jakarta. Orang-orang yang seperti dikejar waktu, kerapatan yang tanpa jarak, lalu lalang orang yang tak juga jeda, dan keadaan-keadaan yang menjengkelkan lainnya.
Untungnya area laiknya mini jakarta ini tak begitu luas. Total jendral hanyalah seluar satu kelurahan di Jakarta semata. Jadi tak perlu tenaga besar untuk melarikan diri dari sana. Cukup naik becak, ojek bermotor trail, atau dokar berkuda, kita pun dengan gampang mengaburkan diri dari keruwetan kota, dan segera menemukan hijaunya pesawahan yang terhampar, atau kebun teh yang berkabut dingin kalau mau lebih jauh lagi, atau hutan-hutan pegunungan slamet yang rimbun dan penuh misteri jika kita pergi tanpa tanggung-tanggung lagi.
Dilihat dari atas emang topografi kota bumiayu cukup memusingkan. Tapi untungnya kota kecil ini berada di lereng gunung tinggi nomer dua di jawa (gunung Slamet). Meski kotanya padat dan sesak tapi dikelilingi oleh luasnya area pesawahan, pegunungan dan hutan lebat yang masih cukup hijau. Sehingga meskipun aktivitas kota bumiayu cukup banyak menghasilkan polusi, hijau sekelilingnya mampu menjadi paru-paru raksasa yang tak pernah lelah memompa udara baru yang segar dan bersih.Tak salah jika ayah dan ibu memilih kota ini sebagai tempat kelahiran dahan. Lebih klop lagi karena rumah yangti bukan berada di pusat kota. Melainkan perbatasan antara kompleks perumahan di kota bumiayu dengan kompleks pesawahan yang mengelilingi bumiayu. Cukup berjalan kaki beberapa puluh meter saja, setiap pagi ayah dan ibu bisa menemukan liatnya lumpur pesawahan yang terinjak kaki telanjang, butir-butir embun pagi berbaur kabut yang menempeli helai-helai rambut dengan butiran butiran air halusnya, dan samar gunung gagah yang menyerah oleh tebal saput kabut yang menghalangi penglihatan. Tentu saja hijau permadani tanaman padi yang terhampar datar di lumpur berair kali adalah pemandangan galib yang selalu menohok tatap mata.
Lega... begitu kata ayah selalu setiap menghirup dalam udara sawah yang melimpah ruah tanpa sampah. Segar dan menjelma candu yang justru menyehatkan bagi ayah-ibu dan tentu saja dahan yang masih bayi hijau. Dengan lahir di kota inilah dengan gampang dahan, yang masih bayi hijau, bisa merajuk manja pada hijau segar alam yang mampu meninabobokannya dalam kemewahan oksigen tak berpolusi. Di kota ini jugalah, mata hijau si dahan, bisa menyaksikan betapa ketidakmodernan justru membawa kesyahduan yang melenakan seperti halnya petani bermandi lumpur yang membajak sawah dengan kerbaunya yang hitam legam warisan emak bapaknya. Di kota inilah Dahan, Ayah, Ibu dan Alam bisa saling memanjakan tanpa perlu saling melukai. Hijau damai, hijau tenang, hijau segar, hijau melenakan, hijau menyejukkan, hijau alam, hijau hati yang selalu mencintai indah alam ini.