Wednesday, October 15, 2008

Mata Air Itu Sirna di Depan Mata

Kata ayah, di kampung semangnya dulu ada beberapa mata air alami yang benar-benar berkualitas sempurna. Tak kalah dengan air kemasan Aqua. Tak pernah kering meski terik kemarau menghajarnya.
Bening airnya menggericik dari bawah akar pepohonan raksasa yang mungkin saja berusia purba. Mengalir tenang, membentuk kali kecil yang meliuk menyusuri pinggiran kampung, dan membelah kelokan-kelokan pesawahan desa.
Bermacam ikan air tawar hidup ceria di dalamnya. Ada wader, bader, kutuk (ikan gabus), udang kali, cucut mini, jembluk, sepat, welut, dan lele liar yang tahan banting.
Mata air itu benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat di sana. Para petani tetap bisa menanam padi di musim kemarau, dan anak-anak bisa belajar berenang tanpa takut terserang penyakit kulit, serta memancing ikan sebagai permainan senggang.
Kata Ayah mbah kakung biasa memancing ikan gabus di kala hari terik dan memancing lele saat hujan rintik turun semakin deras. Tapi awas... patil (sengat) lele lokalnya cukup beracun. Banyak orang yang menjadi panas dingin karena dipatil ikan lele itu. Konon ayah pernah merasakannya.
Sayangnya, sekarang ayah dahan harus kecewa. Pasalnya mata air tersebut telah benar-benar sirna. Tersedot oleh pompa-pompa air raksasa yang dipasang oleh petani-petani serakah, ditambah dampak pemanasan global yang bukan lagi menjadi mitos belaka.
Nampaknya ayah benar-benar harus menelan kekecewaan yang cukup besar. Tak ada lagi kesempatan, untuk mengajak Dahan melayarkan perahu pelepah daun pisang, yang dulu biasa ayah mainkan di waktu kecil bersama teman-teman masa udiknya. Kesempatan itu, benar-benar telah melayang sirna.

1 comment:

Zeeva Athena Cakranegara said...

haduh! cerita sedih...tapi Dahan emang harus tahu, bahwa di masa lalu, mata air memang pernah ada!