Sunday, October 26, 2008

Tak Ada Lagi Bola Plastik di Lapangan Kenangan

Dulu. Ramai. Hiruk pikuk anak-anak selalu meramaikan lapangan itu. Ayah Dahan salah satunya. Berteriak-teriak ceria, bertelanjang kaki tanpa peduli. Toh suburnya rumput yang menghijau mampu meredam peluang lecet gesekan kaki telanjang dan tanah lapangan. Bola plastik yang murahan pontang-panting menjadi kejaran. Disepak ke sana ke mari sampai bocor di banyak sisi. Terkadang kaki beradu kaki. Dan bola bocor tergencet di tengah-tengahnya. Blang... jessss.... bola kempes tak lagi bisa melesat. Permainan pun dihentikan. Bola plastik diambil dan di pencet-pencet agar kembali bulat dan bisa melesat.

mungkin karena kemarau. mungkin juga karena global warming yang benar-benar telah melangkah sampai di situ. lapangan itu nampak gersang. tidak benar-benar gersang memang. Tapi itu sudah jauh dari yang masih ayah harapkan. tak ada sejumput pun rumput hijau yang masih tersisa. Mungkin terik benar-benar tak memberinya sedikit ampunan. helai-helai sisa rumput kering melayang tertiup angin yang cukup kencang. Tak ada pohon rindang yang bisa dijadikan sedikit perlindungan.

Dulu kata ayah dahan, ada banyak pohon trembesi besar yang berdiri kokoh di pinggir-pinggir lapangan. Rimbunnya yang menyejukkan mampu membuat rumput-rumput bertahan sebagian.Tetap hijau walau kemarau datang menyapa. Terkadang banyak petani yang memotong sebagian daun Trembesi untuk dijadikan pupuk alami. Konon pupuk daum trembesi terkenal bagus untuk disebarkan sebelum menanam padi. Sayangnya petani sekarang lebih percaya pada pupuk jadi hasil industri. Jadi pohon Trembesi tak lagi diminati.

Kata ayah bunga Trembesi sangatlah cantik. Berwarna putih dan merah menyala dengan helai-helai daun bunganya yang menyebar bagaikan payung parasut untuk terjun payung. Satu-dua bunga sesekali jatuh saat masih segar. Berputar seperti kipas, melayang ringan bersama angin. Pelan dan tenang persis seperti parasut terjun payung yang dijatuhkan. Berbeda dengan bunganya yang merah menyala, buah Trembesi hitam kelam. Daging buahnya tipis dan menyatu rapat dengan kulitnya yang berkilat. Panjang dan penuh dengan biji-biji yang juga berwarna hitam. Kalau dipatahkan, buah trembesi akan mengeluarkan getahnya yang kental dan unik rasanya. Kata ayah Dahan sih manis-manis aneh dan enak. Sedangkan untuk bijinya, banyak sekali orang yang bilang enak. Asalkan digoreng sangan (pakai pasir dan tidak pakai minyak goreng).

Katanya ayah Dahan bersama teman-teman kecilnya sering membuat penganan biji trembesi ini. Sangat angin bertiup kencang, ayah dahan dan teman-temannya berlomba mengumpulkan buah-buah trembesi yang dijatuhkan angin. Kalau tidak sabar mereka biasanya melemparnya dengan batu, kayu atau dibidik pakai ketapel. Buah trembesi yang bergantungan dan bergerombol dengan gampang bisa dibidik. kalau sudah terkumpul banyak, mereka memecahkannya dengan batu dan mengambil biji-bijinya. Kemudian di jemur dan akhirnya digoreng sangan (disangray). Sayangnya acapkali ayah dahan dilarang makan biji trembesi terlalu banyak oleh mbah putri. Konon kebanyakan makan biji trembesi bisa menyebabkan batuk. Untungnya kalau kebanyakan makan, biji trembesi yang gurih seperti kacang rasanya berubah jadi agak pahit. Itu sebabnya tanpa dilarang ayah dahan gak pernah makan terlalu banyak.

Hari itu Dahan, ayah dan ibu bermain-main di lapangan. Meski hari masih pagi, semuanya tidaklah begitu menyegarkan. Tak ada embun yang berbulir di atas helai-helai rumput. Tak lagi pohon trembesi yang teduh dan rimbun. Kulihat mata ayah pahit. Getir menyelimuti. Meski bola kulit yang sebenarnya sudah gampang terbeli, kali ini tak ada lagi ramai anak-anak yang bermain ceria, berlarian ke sana-ke mari.

1 comment:

Zeeva Athena Cakranegara said...

kampung, tempat di mana manusia (harusnya) bersentuhan langsung dengan alam memang jadi bukti paling nyata ironisnya global warming.

Untung Dahan masih punya Ayah yg setidaknya bisa mewariskan cerita akan sesuatu yg mungkin tak akan pernah dahan lihat.

sedih euy....