Wednesday, March 4, 2009

Rasamala, Malapetaka, Tabula Rasa dan Simalakama

Rasamala adalah pohon berdaun tunggal, berwarna hijau, dan berbentuk bulat telur dengan tepi bergerigi, berbatang tegak lurus, tingginya mencapai 50 m, garis tengah batang mencapai 1,5 m, kulit batang pecah-pecah dan mengelupas berwarna abu-abu kemerah-merahan atau cokelat muda, kayunya berbau harum. Untuk penjelajah di daerah dataran tinggi yang tersesat dan harus bertahan hidup (survival), daun rasamala yang masih muda, bisa dijadikan alternatif logisitik penyambung hidup. Tentu saja rasa daun ini tidaklah enak. Asam-asam sepet, tapi cukup untuk mengisi perut.

Nah... kelakuan anak kita yang gemar dan cepat belajar apa saja, bisa menjadi daun rasamala bagi hidup kita. Terasa asam dan sepet di lidah, tapi terpaksa harus kita telan karena memang itulah kenyataan masa pertumbuhan mereka. Mereka bisa dengan cepat belajar apa saja yang diliat dan didengar, tanpa peduli itu baik atau buruk. Rasa rasamala, terjelma dan terpaksa kita kunyah, jika ternyata tiba-tiba anak kita bisa meniru sesuatu yang buruk dari sekitarnya. Entah dari kelakuan kita sendiri, tetangga, teman bermain, pengasuh, dan bisa siapa saja yang kebetulan pernah berinteraksi dengannya.

Lebih gila lagi, ternyata aksi naif ternyata acap lebih menggoda untuk ditiru oleh anak kita. Nah kalau anak kita dikelilingi oleh lingkungan yang buruk, maka malapetaka jelas-jelas segera tercipta. Anak yang merupakan tabula rasa segera tercipta sebagai pribadi yang membuat kita pusing kepala. Jiwa putih bersih yang kita lahirkan, dengan gampang bisa mendadak menjadi lukisan kotor yang mengganggu dan tak nyaman untuk dilihat. Boleh jadi memang bukan kita yang melukisnya, tapi memang terlalu banyak pelukis-pelukis liar yang ada di lingkungan kita. Entah kerabat, tetangga, teman, pengasuh dan banyak lagi lainnya.

Suatu hari yang damai, tiba-tiba Dahan menemukan peluit bambu bekas terompet tahun baru lalu. Melihat bentuknya yang mirip cigaret, entah dari mana tiba-tiba spontan Dahan bergaya menghisapnya seperti orang yang tengah merokok. Lebih memprihatinkan lagi, gayanya bener-bener seperti gaya perokok pro. Melihat itu sontak ibu mendelik tak percaya. Menengok pada ayah dengan muka penuh tanya dan tuduh. Kontan ayah pun tak kalah bengongnya. Menggeleng ragu, dan mengangkat pundaknya sebagai isyarat tak tahu.

Melihat ayah dan ibu yang terpana takjub, Dahan justru terkekeh-kekeh. Gabungan antara bangga, senang, dan bergaya bahagia. Ibu jadi menuduh ayah pernah merokok di depan Dahan, sementara sampai bersumpah ayah memungkiri bahwa tak pernah melakukan itu. Konon meski memang merokok ayah benar-benar tak pernah merokok di depan Dahan. Jangankan di depan Dahan, di rumah pun ayah benar-benar sudah tak pernah merokok kecuali sesekali saat di toilet.

Lalu dari siapa Dahan bisa menirukan gaya gaya orang merokok dengan begitu fasihnya? Usut punya usut akhirnya teka-teki itu pun terjawab. Ternyata saat dolanan di pekarangan komplek, Dahan sering melihat tetangga-tetangga, khsusunya para ayah yang dengan cueknya tetap merokok dengan asyik, saat memomong anak-anak mereka yang notabene meruapakan teman sebaya Dahan.

Aduuuuuh...sungguh kehebatan daya serap dan daya belajar anak yang begitu besar justru menjelma sebagai bumerang yang menjerumuskan mereka. Dan Lingkungan lah yang menjadi biang kerok munculnya bahaya tersebut. Rasanya menjadi sia-sialah semua pengorbanan dan perjuangan kita selama ini untuk membesarkan dan mendidik anak dengan baik, jika ternyata di lingkungan kita masih saja ada orang yang tak peka dengan masa depan anak-anak kita.
Lingkungan yang tidak mendukung merupakan buah simalakama bagi perkembangan anak-anak kita. Pasalnya, kalau kita jauhkan dari lingkungan anak terancam menjadi anti sosial, sedangkan kalau kita biarkan, anak terancam meniru kelakuan buruk-kelakuan buruk yang diumbar oleh orang-orang tak bertanggung jawab di lingkungan kita. Entah karena kebodohan mereka, ketidakmenertian, atau justru memang kejahatan mereka. ... Mungkinkah kita hanya bisa berdoa saja?