Thursday, October 29, 2009

Revolusi Tanah Liat & Lilin Mainan

Dulu. Ketika aku masih ingusan. Ketika sawah-sawah masih luas. Ketika cuaca belum begitu panas. Ketika kepiting sawah masih banyak berkeliaran di pematang sawah. Ada media permainan yang menurutku sangat merangsang kreativitas dan imajinasi kita. Media itu dalam bahasa Indonesia disebut tanah liat. Tapi aku dan temen-temen dalam bahasa daerah lebih biasa menyebutnya dengan nama "lempung".

Lempung atau tanah liat adalah media untuk bermain yang sangat mengasyikkan. Tentu saja awalnya kita harus mencari lempung yang baik. Lempung yang baik itu bisa ditemukan dari gundukkan tanah yang tertumpuk menggunung di sekitar liang sarang kepiting sawah. Jadi tak perlu menggali. Cukup ambil saja gundukkan lempung itu yang masih cukup basah sehinnga mudah dan lunak untuk dibuat bermacam permainan.

Permainan dengan lempung adalah permainan bebas, lepas, yang tanpa aturan sehingga berguna untuk mengembangkan kemampuan imajinasi dan kreatifitas kita. KIta bisa menciptakanberbagai bentuk sesuka hati. Tentu saja hasilnya bukan saja kita merasa senang tapi juga meningkatkan perkembangan otak. Sentuhan-sentuhan telapak telanjang kita pada lempung juga membuat kita belajar mengenal tekstur serta bagaimana menciptakan sebuah benda. Sungguh... lempung telah menyediakan permainan yang sangat bermaanfaat dengan harga yang teramat murah alias gratis.

Sayangnya sejalan dengan evolusi desa-desa menjadi kota-kota, tanah liat tak lagi gampang kita dapatkan. Untuk si kecil Dahan, aku terus mencoba mendapatkan. Untung akhirnya kutemukan juga. Syukurlah... mainan lempung ternyata tidaklah punah. Karena tanah liat semakin sulit didapat, ternyata permainan ini telah berevolusi menjadi media mainan yang disebut lilin mainan. Dua jenis lilin mainan yaitu Dough dan Clay itulah yang sekarang menggantikan peran tanah liat bagi anak-anak di perkotaan. Dan Dahan menjadi salah satu anak perkotaan itu.

Aku tak tahu apakah harus senang ataukah sedih. Meski secara garis besar fungsi memainkannya masih sama. Kupikir tentu masih ada sesuatu yang berbeda. Tapi entah... Yang jelas Dough yang flexible dan Clay yang kuat saat telah mengering benar-benar mampu menjadi permainan Dahan yang mengasyikkan.

Memang... warna-warni Dough dan Clay yang menggairahkan merupakan keunggulan yang tersendiri dibandingkan dengan tanah liat. Tapi entaha kenapa yah aku masih merasa ada yang kurang pada dua media ini dibandingkan dengan tanah liat. Yah... apa boleh buat. Roda modernisasi memang terus bergulir dengan cepatnya. Biarlah kuikhlaskan Dahan secara alami menjadi salah satu pengikutnya. Kalau pun kami merindukan tanah liat, biarlah suatu waktu, suatu saat, Dahan kuajak pulang ke rumah eyang atau mbahnya. Mudah-mudahan masih ada sedikit lempung di sana. Mudah-mudahan lempung yang ada di sana tidak keburu mengering oleh pemanasan global yang membuat cuaca semakin gerah sekarang ini.

Semoga....

Monday, October 19, 2009

Awas... Jebakan Pakaian & Mainan yang Tak Peka Gender

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,
yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka,
tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang,
maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan

("Anak-anakmu" Kahlil Gibran)



Banyak sekali orang yang menyukai puisi Kahlil di atas. Banyak sekali orang yang mengamini pesan yang dikandungnya. Sayangnya, masih banyak juga orang yang tak mampu menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Sederhana saja. Misalnya dalam hal memilihkan mainan dan pakaian buat anak-anak kita. Banyak orang yang masih berpendapat bahwa pakaian anak perempuan dan laki-laki haruslah berbeda. Anak laki-laki tak boleh berpakaian feminin dan anak perempuan tak boleh berpakaian casual yang dianggap macho.

Pun dengan mainan, anak laki-laki tak boleh mainan boneka, peralatan masak, bunga, peralatan dandan dan sebagainya. Sebaliknya, anak perempuan tak boleh bermain mobil-mobilan, peralatan tukang-tukangan, main bola dan sebagainya.

Padahal sebenarnya tak bisa dipungkiri, pakaian-pakaian yang digolongkan pakaian anak laki-laki biasanya lebih simple dan serbaguna untuk dipakai anak dalam beraktivitas. Dan sebaliknya, pakaian yang digolongkan pakaian anak perempuan cenderung menempatkan keindahan di atas segalanya sehingga terkadang agak menghambat aktivitas anak.

Tak jadi masalah jika anak perempuan menggemari pakaian-pakaian yang memang diperuntukkan anak perempuan. Asal anak suka dan menikmatinya, hal tersebut tidaklah masalah.Yang jadi masalah adalah saat orang tua atau lingkunganlah yang memaksakan pemilihan pakaian tersebut. Kalau anak perempuan selalu dipakaikan pakaian yang simple terkadang orang tua dan lingkungan mencapnya sebagai anak yang tomboy. Mengolok-oloknya bahkan memarahinya. Sungguh patut disayangkan.

Agak berbeda dalam hal mainan. Mainan anak laki-laki maupun anak perempuan sebenarnya tak begitu berbeda. Sama-sama menariknya. Sayangnya pemaksaan kehendak yang tak peka gender justru makin parah dalam hal ini. Entah sengaja atau tidak orang tua atau lingkungan justru memberi batasan gender yang cukup ketat dalam hal ini. Mainan anak laki-laki dan mainan anak perempuan seperti diwajibkan untuk berbeda.

Adakah hal ini adil untuk anak-anak kita? Bagaimana misalnya kalau sebenarnya anak perempuan kita berbakat jadi ahli automotif, ahli teknik atau pekerjaan yang sekarang diklaim sebagai pekerjaan laki-laki lainnya? Bagaimana jika anak laki-laki kita sebenarnya memiliki talenta sebagai juru masak, perancang busana, perangkai bunga handal dan pekerjaan yang disorongkan sebagai pekerjaan-pekerjaan perempuan lainnya?

Haruskah kita menghambat bakat mereka, sedari mereka masih belia? Semua memang tergantung pada kekuasaan kita. Tapi sekali lagi... sudah selayaknya kita merenungkan apa yang dipesankan Kahlil Gibran, "Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu".