Thursday, February 26, 2009

Bisa Makan Sendiri, Tak Semua Bikin Hepi

Persoalan makan si kecil selau saja menjadi permasalahan tersendiri bagi orang tua. Hampir sebagian orang tua mengeluhkan masalah anak yang susah makan. Padahal kata ahlinya, meski ASI mengandung hampir semua zat gizi dengan komposisi yang sesuai kebutuhan bayi, konon komposisi kandungan nutrisi ASI hanya cukup untuk anak sampai usia 4 bulan. Katanya kandungan vitamin A dan C serta zat besi sudah tidak begitu tinggi. Dus... mau tak mau sejak umur empat bulan anak harus mulai dilatih makan selain ASI.

Aktivitas memberi makan si kecil benar-benar penuh dengan tantangan yang tidak enteng. Harus ceriwis dan pintar merayu anak agar mau disuapi makanan, mengalihkan perhatian si anak ketika dia sudah mulai ogah membuka mulut sehingga tanpa sadar makanan masih bisa masuk ke mulutnya dan banyak kronika-kronika menyuapi anak lainnya.

Ada temen yang ngomong, anak jangan dipaksa makan jika dia sudah tidak berselera lagi. Konon aktivitas makan yang lama dan memaksa bisa menjadikan trauma pada anak sehingga aktivitas makan dianggap sebagai aktivitas yang menyebalkan dan dihindarinya. Tapi dilemanya kalau tidak ditekuni dengan berbagai cara yang terkadang terkesan memaksa, bisa-bisa seharian anak tidak kemasukan makan sama sekali.

Entah kenapa, konon kita orang tua di Indonesia ini dianggap tidak bisa mendidik anak berkenaan dengan masalah makan tersebut. Seorang temen, warga negara Kanada yang kebetulan tinggal di Indonesia dan mempunyai anak di sini, memberi sekedar nasehat bahwa anak harus dibiasakan disiplin saat makan. Kalau makan haruslah duduk di meja makan. Jangan membiasakan memberi makan anak sambil dolanan, jalan-jalan, digendong ke sana ke mari dan aktivitas pengalih perhatian lainnya. Nah sialnya kita di Indonesia justru terbiasa dengan kebiasaan yang dianggap tidak mendidik disiplin tersebut. Yah apa boleh buat mungkin kultur Indonesia memang harus begitu. Jalani saja mana yang dianggap baik dan bisa kita lakukan dengan enteng.

Yah... meskipun sebenarnya membenarkan apa yang dikatakan temen dari Kanada tersebut, tetapi tetap saja aku mengikuti cara Indonesia. Selama dahan belum bisa makan sendiri, tetap saja aktivitas menyuapinya kulakukan sambil mengajaknya dolanan, jalan-jalan, dan aktivitas pengalih perhatian lainnya.

Untungnya menginjak usia paruh tahun menuju tahun kedua, Dahan sudah tertarik untuk belajar makan sendiri. Setiap ayah dan ibu makan, dia pasti selalu nimbrung mengganggu. Meminta sendok sendiri dan ikut-ikutan mengacak-acak makanan ayah-ibu. Berawal dari aktivitas yang usil itu, minat untuk makan sendiri pun terbangun. Saat disuapi makanannya sendiri, acap dahan minta sendok sendiri dan belajar menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri. Merasa bahwa aktivitas tersebut menunjukkan gejala yang positif akhirnya aku pun dengan senang hati memberikan kesempatan pada Dahan untuk menyuapkan makanannya sendiri.

Aktivitas makan dahan pun menjelma sebagai aktivitas yang lucu, kocak dan menggemaskan. Sayangnya tentu saja semua aktivitas dahan makan sendiri tersebut tak semuanya membikin hepi. Tak jarang piring makanan tumpah ruah di lantai, dan makanan yang di dalamnya pun tumpah ruah mengotori lantai dan perabotan. Belum lagi badan dahan yang menjadi berlepotan makanan di sana-sini. Benar-benar nampak jorok dan menguji kesabaran yang berlebih. Sialnya lagi tak jarang, tanpa sepengetahuan kita, si kecil mencomot makanan yang sudah jatuh dan buru-buru memasukkannya ke mulut. Kalau kebetulan ada kuman penyakit di situ, bisa jadi si kecil bisa terjangkit penyakit seperti diare dan sebagainya.

Yaah... apa boleh buat. Pengorbanan memang diperlukan untuk kemajuan anak-anak kita nantinya. Boleh jadi benar apa yang dikatan Rinso dalam jargon iklannya, "berani kotor itu baik."

Tuesday, February 24, 2009

"Burn Out"

Konon rutinitas pekerjaan yang harus dijalani secara terus-menerus akan menyebabkan perasaan menjadi mati rasa. Empati, simpati, kepekaan kepedulian, sensitivitas, atau apapun istilahnya yang berhubungan dengan perasaan tiba-tiba menghilang. Memang semuanya terlihat berjalan dengan lancar, namun bila diselami semuanya telah menjadi hambar, dingin, beku dan hampa. Tak ada lagi unsur-unsur perasaan yang berperan di sana. Semuanya menjadi seperti mesin. Terus berjalan namun tanpa peran serta hati di dalamnya. Fenomena inilah yang oleh para kalangan intelektual dinamai dengan istilah "burn out".

Bila menimpa pada profesi-profesi yang tidak berhubungan pada layanan publik atau berhubungan dengan manusia tentunya fenomena ini bukanlah masalah serius. Sayangnya fenomena ini sering menimpa pada profesi-profesi yang membutuhkan kepekaan perasaan semisal baby sister, perawat, regu penyelamat (SAR), dokter dan yang lainnya.

Pengalaman pahit mengenai para dokter yang terjangkit "burn out" sudah kutulis pada judul tulisanku sebelumnya. Masalahnya fenomena ini benar-benar mengganggu dan menjadi duri yang perih dalam kenyataan keseharian kita. "Burn out" inilah yang akhirnya menjadi biang kerok dari permasalahan yang menyebabkan aku sulit mencari PRT dan juga Nanny yang ideal bagi Dahan. Tentu saja sebagai sebuah keluarga muda yang tinggal dari sanak saudara fenomena jadi sangat merepotkan.

Pernah suatu sore, Nanny yang mengawasi Dahan datang menggendong Dahan yang pucat. Dengan santai yang dingin dia bertanya kepadaku,"Bu adek sakit yah... Kok badannya panas dan tadi muntah-muntah?" Muntah-muntah? "Apa tadi jatuh?" "Enggak bu, nggak kenapa-kenapa kok tadi." Masalah demam memang biasa. Pasalnya tadi pagi Dahan baru saja diimunisasi campak. Tapi muntah-muntah? Karena khawatir akupun buruan menelpon dspa-nya. Kata dspa kalau demam memang wajar, tapi muntah-muntah harusnya itu bukan karena imunisasi. Masalah demam, cukup diberikan obat demam saja, begitu kata sang dspa. Semalaman itu Dahan beberapa kali muntah-muntah. Esok paginya Dahan nggak mau makan sama sekali. Segera kutelpon kembali dspa-nya. Tapi nggak menjawab. Mungkin karena hari minggu jadi sang dokter sedang berlibur. Kutelpon beberapa RSIA juga tak ada dokter anak yang jaga. Akhirnya kucoba menangani sendiri sebisanya. Nyampe sore Dahan masih saja nggak mau makan. Badannya kelihatan lemes. Sampai akhirnya seorang tetangga yang baik menyapa dan menanyakan kondisi Dahan yang kelihatan lemas. Dia bercerita mungkin sakit Dahan itu disebabkan kemarin sore Dahan jatuh. Ia menyarankan agar segera dipijitin dan CT scan saja. Apa? Dahan jatuh???

Sontak akupun kalap. Kok tega-teganya yah, sang Nanny mendiamkan begitu saja peristiwa jatuhnya Dahan tersebut. Benar-benar berbahaya, nyawa anak kecil taruhannya. Apalagi anak kecil belum bisa bercerita tentang apa yang dialaminya. Meski akhirnya dari hasil CT Scan keesokan harinya ternyata Dahan tidak mengalami trauma yang serius, tapi trauma psikis yang kuterima akhirnya memaksa aku dengan berat hati untuk memberhentikan sang Nanny. Kutakut hal ini akan terjadi berulang dan berulang lagi.

Apakah sang Nanny telah terjangkit oleh "burn out" juga? Berapa banyak Nanny-nanny lain yang juga terjangkit "burn out" ini, sehingga lebih mengutamakan keselamatan dirinya dari omelan majikan dari pada keselamatan sang anak yang notabene menjadi tanggung jawab utamanya? Sungguh hidup di zaman ini telah memunculkan begitu banyak resiko yang semakin besar.

Melihat banyaknya fenomena "burn out" yang menjangkiti orang-orang dengan beragam profesi sekarang ini, aku hanya bisa berdoa, "Mudah-mudahan "burn out" tidak menimpa para suami, menimpa para bapak, dan apalagi para ibu. Sungguh bisa dibayangkan betapa tragisnya jika ibu juga mengalami "burn out" dalam melihat anak-anaknya.

Monday, February 16, 2009

American, Russian, & Indonesian

Ini bukanlah teori apalagi kesimpulan ilmiah. Hanyalah sekedar curhat atau kesimpulan pribadi yang tak haram disebut ngawur atas fenomena yang berhubungan dengan eksistensi seorang dokter yang kualami selama ini, khususnya tentang dokter spesialis anak.

Dari guyonan teman-teman dan juga saudara, aku menemukan tiga tipe dokter dengan berbagai karakteristiknya. Pertama adalah dokter tipe american, konon dokter tipe ini berkarakter sangat informatif. Jadi tanpa pasien perlu ceriwis dengan sang dokter dengan senang hati akan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kesehatan sang pasiennya.Sayangnya dokter tipe ini di Indonesia biasanya mahal. Mungkin karena harga yang diberikan mahal, makanya servisnya juga maksimal. Nah kalau yang kita punya cuma dana yang pas-pasan, susah deh menemukan dokter tipe ini di Indonesia.

Kedua adalah dokter tipe Russian. Karakter dokter tipe Russian ini sangat menyenangkan. Pasalnya mereka selalu memperlakukan pasien bak raja. Kesimpulan akan tipe ini berhasil kudapatkan dari cerita om-nya Dahan yang pulang dari study masternya di Rusia. Katanya di Rusia, mungkin dikarenakan ideologi negaranya yang sosialis, profesi dokter adalah profesi yang tidak elitis. Posisi dokter tak beda sama sekali dengan posisi guru-guru di Indonesia. Dokter digaji oleh negara. Karena fungsinya sebagai penyedia layanan publik maka dokter di Rusia tak bisa sekaya dokter-dokter di negara non sosialis. Mereka tak bisa mengeruk keuntungan dari pasiennya yang notabene telah dijamin oleh negara. Karena itu, kredibilitas seorang dokter benar-benar ditentukan oleh keistimewaan servis dan layanannya yang memuaskan bagi sang pasien. bahkan konon di Rusia dokter-dokter benar-benar bersaing untuk memberikan servis terbaik tanpa bisa memungut biaya lebih dari layanannya tersebut. Mereka cuma mengharap tempat layanannya menjadi ramai dan makin diperhatikan oleh negara.

Ketiga adalah tipe dokter Indonesian. Nah mohon maaf sebelumnya kalau pada kesimpulan tipe ini saya berkesan mendeskriditkan dokter di Indonesia. Penemuan saya atas tipe ini bukanlah tuduhan generik. Sekedar kesimpulan mentah dan penuh amarah atas pengalaman yang kutemui selama ini. Selama pengalamanku mencari dokter anak yang cocok untuk si kecil Dahan, aku beberapa kali kecewa. Tak pernah kutemui dspa yang informatif dan bener-bener tertarik pada anak kecil. Dokter indonesia yang kutemui selalu saja to the point.

Langsung periksa saja tak perduli anak ketakutan setengah mati, tulis resep, dan udah... begitu saja. Tak ada basa-basi informatif yang boleh jadi bisa menambah pengetahuan kita. Pasien khususnya anak bener-bener dianggap sebagai target kerja. Ada yang mengatakan bahwa mereka mengalami apa yang disebut "burn out" yaitu rutinitas yang mematikan perasaan dan kepedulian. Benarkah dokter-dokter itu memang telah sampai pada taraf "burn out" atau memang kultur budaya kita yang membuat dokter-dokter Indonesia menjadi seperti itu.

Mudah-mudahan saja sih. Pengalamanku ini adalah pengalaman minor di antara berjuta ibu Indonesia yang ada. Mudah-mudahan yang kutemukan selama ini adalah sebagian terkecil dari dokter-dokter spesialis anak yang ada di Indonesia.

Semoga...