Wednesday, January 26, 2011

Tiger, Liberal or Local

Cilukba China.

“Belajarlah ke negeri China” jargon ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Tetapi pada kenyataannya China yang layak untuk kita jadikan acuan pendidikan adalah China masa lalu, yang kemilau kejayaannya banyak diungkapkan dalam dongeng, legenda dan peninggalan sejarah.

Beberapa waktu lalu, sepertinya China tenggelam dalam kejayaan negara adi kuasa, Rusia-Amerika, Negara Eropa dan Jepang. Namun seperti permainan “Cilukba”, tiba-tiba China muncul sebagai sebuah fenomena baru. Sebagai Negara tertutup dengan kekomunisannya, tiba-tiba sekarang ini China menyeruak, muncul sebagai sebuah negara yang berpotensi menjadi Adi Kuasa baru.

Produk-produk China sepertinya tersebar secara sporadis di seluruh pelosok dunia. Industri-industri besar bergegas membangun manufacture-nya di sana. Tiba-tiba banyak produk-produk branded yang bertuliskan “made in China”. Sampai-sampai banyak kolega, teman, saudara yang membeli oleh-oleh saat melancong di negara-negara besar, harus menelan kekecewaan saat sampai di rumah di karenakan setelah diteliti ternyata oleh-oleh yang mereka banggakan tersebut adalah “made in China”. Begitu memukaunya kebangkitan China sampai-sampai muncul joke, “Jika Amerika dijual, maka Chinalah sekarang ini yang mampu membelinya.”

Tentu saja, kita semua pasti menyadari bahwa kebangkitan China tersebut bukanlah mukjizat yang jatuh begitu saja. Pasti ada sesuatu yang serius, yang menjadi penyokong kebangkitan mereka sekarang. Sayangnya hal tersebut belum begitu terungkap hingga saat ini. Boleh dikatakan bahwa resep kebangkitan China adalah rahasia yang paling membuat penasaran masyarakat hingga saat ini. Ungkapkan “Belajarlah ke negeri China” kembali aktual dan masuk akal.

Sputnik Moment
Bangsa Amerika yang semakin merasa superior akibat keruntuhan uni soviet, tiba-tiba seperti kebakaran kumis. Kegelisahan bangsa Amerika karena negerinya akan disalib oleh kemajuan China tersebut digambarkan secara gamblang dalam Seorang penulis Fareed Zakaria. Dalam bukunya “The Post-American World” yang salah satunya cerita soal “the rise of the rest” dia menjelaskan bangkitnya bangsa-bangsa lain di luar Amerika.

Konon bangsa Amerika sekarang mengalami kembali apa yang disebut “sputnik moment”. Kekagetan dan kegelisahan yang mendera akibat melihat pesatnya kemajuan ekonomi China. Fenomena yang sama dengan ketika mereka merasa kecolongan dengan kemajuan Uni Soviet di bidang luar angkasa saat menggebrak dengan sputniknya.

Di saat mereka kebingungan dan bertanya-tanya kenapa China bisa begitu ajaib itulah tiba-tiba Amy Chua, seorang profesor dari Universitas Yale keturunan Cina, menerbitkan bukunya yang berjudul: "Battle Hymn of The Tiger Mother". Buku ini mengungkapkan pola pendidikan anak-anak di China yang sangat keras dan otoriter yang disebutnya sebagai “Tiger Parenting”. Dalam waktu singkat khususnya di Amerika buku ini segera terjual lebih dari 1 juta eksemplar bahkan bertambah banyak.

Masyarakat Amerika mengira bahwa “tiger parenting” inilah yang bisa jadi menjadi rahasia kemajuan China sekarang. Mereka merasa pola pengasuhan ala keluarga Cina yg keras itu lebih baik daripada pengasuhan liberal ala Amerika.

Lalu benarkah bahwa “Tiger Parenting” memang lebih baik daripada “Liberal Parenting”? Pasalnya seperti yang dikatakan Ulil A. Abdala, bahwa “liberal parenting” adalah pola pengasuhan anak modern yang makin lama makin dominan di seluruh dunia terutama di kalangan kelas menengah. Menurut Ulil yang merupakan salah satu penggagas Jaringan Islam Liberal, hal itu adalah hukum alam. Makin makmur suatu bangsa maka makin liberal pula cara mendidik anaknya.

Back to Local Parenting

Yang jelas sekarang China semakin maju dan mungkin makmur. Akankah “tiger parenting” mereka akan meluntur dan tergantikan oleh “liberal parenting”. Kita tak bisa menjawabnya sekarang. Menurut saya janganlah kita mengadu antara “tiger parenting” dan “liberal parenting” secara berhadap-hadapan. Mungkin kita bisa mengkombinasikannya. Dan tentu saja menyertakan “local parenting” yang banyak dimiliki oleh masyarakat tradisional Indonesia. Saya tetap percaya bahwa sebenarnya banyak kearifan-kearifan local parenting asli Indonesia yang boleh jadi jauh lebih bagus dibanding “tiger” maupun “liberal” parenting. Jangan terlalu kagum pada Barat dan juga Timur.

Mari kita berdayakan “local parenting” Indonesia sendiri yang telah kita pahami sebagai pola pengasuhan anak yang adiluhung dan dan juga agung. Maraknya lembaga-lembaga pendidikan anak dari luar negeri atau mengacu pada pendidikan luar negeri tak perlu kita dewa-dewakan dan unggulkan secara membabi buta. Apalagi biaya pendidikan di lembaga-lembaga tersebut biasanya tidaklah murah. Jangan sampai kita semua salah arah. Terperosok pada pemilihan lembaga pendidikan berbiaya tinggi namun hasilnya tidaklah sesuai yang kita harapkan. Boleh jadi justru pola-pola pendidikan yang nenek moyang kita punya yang akan membawa bangsa ini pada kemajuan yang kita harapkan. Semoga.