Thursday, March 3, 2011

Es Krim ASI Laku Keras di London


Es krim yang dibuat dari ASI dijual di sebuah restoran di London. Laku keras, demikian hasil laporan kafe yang menjualnya.

Es krim yang diberi nama "Baby Gaga" tersebut terbuat dari ASI yang di ambil dari 15 wanita yang membalas iklan pada sebuah forum ibu-ibu.

Sebelum disajikan, ASI dipasteurisasi alias disterilkan pada suhu tinggi selama beberapa waktu tertentu agar bebas dari kuman. Setelah itu, ASI diberi perasa lemon dan vanila dalam proses pengadukan. Kafe Icecreamists di Covent Garden itu menjualnya dengan harga 14 Pound, sekitar 240 ribu rupiah.

"Kalau terbukti baik untuk anak-anak kita, ASI pasti juga baik untuk kita semua," kata Matt O'Connor, pendiri Icecreamists. Ia mengaku tak memahami orang-orang yang mual dengan produknya. "Beberapa orang yang mendengar mungkin akan jijik, padahal produk ini murni organik dan benar-benar natural," katanya.

Seorang juru bicara Icecreamists mengatakan kalau mereka belum punya rencana menjual es krim ASI ini lebih luas meskipun mendulang sukses pada penjualan awal. "Baru diluncurkan minggu lalu dan kini seluruh es krim sudah terjual," katanya kepada AFP.

"Ketika orang dewasa mengetahui lezatnya ASI, semoga semakin banyak ibu merasa lebih senang ketika memberikan ASI kepada bayi mereka," kata Victoria Hiley (35 tahun), salah seorang ibu yang mendonorkan ASI-nya. Hiley mendapatkan upah 15 Pound, sekitar 214 ribu rupiah, untuk setiap 10 ons ASI-nya. (Sumber: Discovery News)

Wednesday, January 26, 2011

Tiger, Liberal or Local

Cilukba China.

“Belajarlah ke negeri China” jargon ini sudah tak asing lagi di telinga kita. Tetapi pada kenyataannya China yang layak untuk kita jadikan acuan pendidikan adalah China masa lalu, yang kemilau kejayaannya banyak diungkapkan dalam dongeng, legenda dan peninggalan sejarah.

Beberapa waktu lalu, sepertinya China tenggelam dalam kejayaan negara adi kuasa, Rusia-Amerika, Negara Eropa dan Jepang. Namun seperti permainan “Cilukba”, tiba-tiba China muncul sebagai sebuah fenomena baru. Sebagai Negara tertutup dengan kekomunisannya, tiba-tiba sekarang ini China menyeruak, muncul sebagai sebuah negara yang berpotensi menjadi Adi Kuasa baru.

Produk-produk China sepertinya tersebar secara sporadis di seluruh pelosok dunia. Industri-industri besar bergegas membangun manufacture-nya di sana. Tiba-tiba banyak produk-produk branded yang bertuliskan “made in China”. Sampai-sampai banyak kolega, teman, saudara yang membeli oleh-oleh saat melancong di negara-negara besar, harus menelan kekecewaan saat sampai di rumah di karenakan setelah diteliti ternyata oleh-oleh yang mereka banggakan tersebut adalah “made in China”. Begitu memukaunya kebangkitan China sampai-sampai muncul joke, “Jika Amerika dijual, maka Chinalah sekarang ini yang mampu membelinya.”

Tentu saja, kita semua pasti menyadari bahwa kebangkitan China tersebut bukanlah mukjizat yang jatuh begitu saja. Pasti ada sesuatu yang serius, yang menjadi penyokong kebangkitan mereka sekarang. Sayangnya hal tersebut belum begitu terungkap hingga saat ini. Boleh dikatakan bahwa resep kebangkitan China adalah rahasia yang paling membuat penasaran masyarakat hingga saat ini. Ungkapkan “Belajarlah ke negeri China” kembali aktual dan masuk akal.

Sputnik Moment
Bangsa Amerika yang semakin merasa superior akibat keruntuhan uni soviet, tiba-tiba seperti kebakaran kumis. Kegelisahan bangsa Amerika karena negerinya akan disalib oleh kemajuan China tersebut digambarkan secara gamblang dalam Seorang penulis Fareed Zakaria. Dalam bukunya “The Post-American World” yang salah satunya cerita soal “the rise of the rest” dia menjelaskan bangkitnya bangsa-bangsa lain di luar Amerika.

Konon bangsa Amerika sekarang mengalami kembali apa yang disebut “sputnik moment”. Kekagetan dan kegelisahan yang mendera akibat melihat pesatnya kemajuan ekonomi China. Fenomena yang sama dengan ketika mereka merasa kecolongan dengan kemajuan Uni Soviet di bidang luar angkasa saat menggebrak dengan sputniknya.

Di saat mereka kebingungan dan bertanya-tanya kenapa China bisa begitu ajaib itulah tiba-tiba Amy Chua, seorang profesor dari Universitas Yale keturunan Cina, menerbitkan bukunya yang berjudul: "Battle Hymn of The Tiger Mother". Buku ini mengungkapkan pola pendidikan anak-anak di China yang sangat keras dan otoriter yang disebutnya sebagai “Tiger Parenting”. Dalam waktu singkat khususnya di Amerika buku ini segera terjual lebih dari 1 juta eksemplar bahkan bertambah banyak.

Masyarakat Amerika mengira bahwa “tiger parenting” inilah yang bisa jadi menjadi rahasia kemajuan China sekarang. Mereka merasa pola pengasuhan ala keluarga Cina yg keras itu lebih baik daripada pengasuhan liberal ala Amerika.

Lalu benarkah bahwa “Tiger Parenting” memang lebih baik daripada “Liberal Parenting”? Pasalnya seperti yang dikatakan Ulil A. Abdala, bahwa “liberal parenting” adalah pola pengasuhan anak modern yang makin lama makin dominan di seluruh dunia terutama di kalangan kelas menengah. Menurut Ulil yang merupakan salah satu penggagas Jaringan Islam Liberal, hal itu adalah hukum alam. Makin makmur suatu bangsa maka makin liberal pula cara mendidik anaknya.

Back to Local Parenting

Yang jelas sekarang China semakin maju dan mungkin makmur. Akankah “tiger parenting” mereka akan meluntur dan tergantikan oleh “liberal parenting”. Kita tak bisa menjawabnya sekarang. Menurut saya janganlah kita mengadu antara “tiger parenting” dan “liberal parenting” secara berhadap-hadapan. Mungkin kita bisa mengkombinasikannya. Dan tentu saja menyertakan “local parenting” yang banyak dimiliki oleh masyarakat tradisional Indonesia. Saya tetap percaya bahwa sebenarnya banyak kearifan-kearifan local parenting asli Indonesia yang boleh jadi jauh lebih bagus dibanding “tiger” maupun “liberal” parenting. Jangan terlalu kagum pada Barat dan juga Timur.

Mari kita berdayakan “local parenting” Indonesia sendiri yang telah kita pahami sebagai pola pengasuhan anak yang adiluhung dan dan juga agung. Maraknya lembaga-lembaga pendidikan anak dari luar negeri atau mengacu pada pendidikan luar negeri tak perlu kita dewa-dewakan dan unggulkan secara membabi buta. Apalagi biaya pendidikan di lembaga-lembaga tersebut biasanya tidaklah murah. Jangan sampai kita semua salah arah. Terperosok pada pemilihan lembaga pendidikan berbiaya tinggi namun hasilnya tidaklah sesuai yang kita harapkan. Boleh jadi justru pola-pola pendidikan yang nenek moyang kita punya yang akan membawa bangsa ini pada kemajuan yang kita harapkan. Semoga.

Thursday, August 5, 2010

Nenek Moyangku Kaum Petani

nenek moyangku kaum petani
mengolah bumi sepenuh hati
selalu ikhlas hati tak pernah iri dengki
meski hasil kerap tak mencukupi


Konon Indonesia adalah negara agraris. Namun kenyataannya dunia agraris kita tidaklah menggembirakan. Kehidupan masyarakat agraris yang tentram, damai, nyaman dan sejahtera hanya ada di dunia imajinasi semata. hanya terasa menakjubkan dilihat di film atau foto-foto semata. Lagu desaku yang kucinta sepertinya hanyalah menyentuh sebagai lagu semata. Sangat berbeda dengan kenyataan yang ada.

Namun sudahlah. tak perlu kita cari siapa yang salah. yang jelas, ayo kita ajak saja anak-anak kita untuk kembali mendekat dengan kehidupan agraris yang ada. kehidupan agraris yang sebenarnya merupakan kehidupan nenek moyang kita. kehidupan agraris yang jauh dari perusakan lingkungan. kehidupan agraris yang jauh dari persaingan-persaingan yang menjerumuskan. kehidupan agraris yang sebenarnya dekat dengan kearifan lokal dan lingkungan. kehidupan agraris yang alami, yang jauh dari gaya-gaya kosmetis yang imitatif.

Jangan sampai anak-anak kita hanya mengenal supermarket, mall, tempat hiburan yang metropolis dan hi-tech semata. Jangan jadikan kehidupan urban memenuhi impian masa depan mereka. berilah kebebasan imajinasi pada mereka. bahwa hidup di kota atau di desa tidaklah ada bedanya. sama mengasyikkannya. mulailah dari sekarang. mulailah mengenalkan pada mereka bahwa mandi bola dan mandi lumpur sawah, sama mengasyikkannya. memetik buah dan memenuhi trolly belanja adalah sama enaknya. melihat binatang ternak asli dan menonton binatang di kerangkeng kebun binatang, adalah sama mendebarkannya. Boneka Barbie atau pun orang-orangan sawah, sama unik dan menariknya.

Tak perlu mengarahkan pilihan mereka. Biarkan kebebasan realita bermain di memori mereka. Biarlah kekayaan pilihan referensi masa depan memperkuat talenta alami mereka dalam menemukan hobi dan pilihan karir yang nantinya mereka jalani setelah dewasa. Desa ataukah kota, sama gengsinya, tak beda berharganya.
desaku yang kucinta
pujaan hatiku
tempat ayah dan bunda
dan handai taulanku

tak pernah kulupakan
tak pernah bercerai
selalu kurindukan
desaku yang permai

Thursday, October 29, 2009

Revolusi Tanah Liat & Lilin Mainan

Dulu. Ketika aku masih ingusan. Ketika sawah-sawah masih luas. Ketika cuaca belum begitu panas. Ketika kepiting sawah masih banyak berkeliaran di pematang sawah. Ada media permainan yang menurutku sangat merangsang kreativitas dan imajinasi kita. Media itu dalam bahasa Indonesia disebut tanah liat. Tapi aku dan temen-temen dalam bahasa daerah lebih biasa menyebutnya dengan nama "lempung".

Lempung atau tanah liat adalah media untuk bermain yang sangat mengasyikkan. Tentu saja awalnya kita harus mencari lempung yang baik. Lempung yang baik itu bisa ditemukan dari gundukkan tanah yang tertumpuk menggunung di sekitar liang sarang kepiting sawah. Jadi tak perlu menggali. Cukup ambil saja gundukkan lempung itu yang masih cukup basah sehinnga mudah dan lunak untuk dibuat bermacam permainan.

Permainan dengan lempung adalah permainan bebas, lepas, yang tanpa aturan sehingga berguna untuk mengembangkan kemampuan imajinasi dan kreatifitas kita. KIta bisa menciptakanberbagai bentuk sesuka hati. Tentu saja hasilnya bukan saja kita merasa senang tapi juga meningkatkan perkembangan otak. Sentuhan-sentuhan telapak telanjang kita pada lempung juga membuat kita belajar mengenal tekstur serta bagaimana menciptakan sebuah benda. Sungguh... lempung telah menyediakan permainan yang sangat bermaanfaat dengan harga yang teramat murah alias gratis.

Sayangnya sejalan dengan evolusi desa-desa menjadi kota-kota, tanah liat tak lagi gampang kita dapatkan. Untuk si kecil Dahan, aku terus mencoba mendapatkan. Untung akhirnya kutemukan juga. Syukurlah... mainan lempung ternyata tidaklah punah. Karena tanah liat semakin sulit didapat, ternyata permainan ini telah berevolusi menjadi media mainan yang disebut lilin mainan. Dua jenis lilin mainan yaitu Dough dan Clay itulah yang sekarang menggantikan peran tanah liat bagi anak-anak di perkotaan. Dan Dahan menjadi salah satu anak perkotaan itu.

Aku tak tahu apakah harus senang ataukah sedih. Meski secara garis besar fungsi memainkannya masih sama. Kupikir tentu masih ada sesuatu yang berbeda. Tapi entah... Yang jelas Dough yang flexible dan Clay yang kuat saat telah mengering benar-benar mampu menjadi permainan Dahan yang mengasyikkan.

Memang... warna-warni Dough dan Clay yang menggairahkan merupakan keunggulan yang tersendiri dibandingkan dengan tanah liat. Tapi entaha kenapa yah aku masih merasa ada yang kurang pada dua media ini dibandingkan dengan tanah liat. Yah... apa boleh buat. Roda modernisasi memang terus bergulir dengan cepatnya. Biarlah kuikhlaskan Dahan secara alami menjadi salah satu pengikutnya. Kalau pun kami merindukan tanah liat, biarlah suatu waktu, suatu saat, Dahan kuajak pulang ke rumah eyang atau mbahnya. Mudah-mudahan masih ada sedikit lempung di sana. Mudah-mudahan lempung yang ada di sana tidak keburu mengering oleh pemanasan global yang membuat cuaca semakin gerah sekarang ini.

Semoga....

Monday, October 19, 2009

Awas... Jebakan Pakaian & Mainan yang Tak Peka Gender

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,
yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka,
tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang,
maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan

("Anak-anakmu" Kahlil Gibran)



Banyak sekali orang yang menyukai puisi Kahlil di atas. Banyak sekali orang yang mengamini pesan yang dikandungnya. Sayangnya, masih banyak juga orang yang tak mampu menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Sederhana saja. Misalnya dalam hal memilihkan mainan dan pakaian buat anak-anak kita. Banyak orang yang masih berpendapat bahwa pakaian anak perempuan dan laki-laki haruslah berbeda. Anak laki-laki tak boleh berpakaian feminin dan anak perempuan tak boleh berpakaian casual yang dianggap macho.

Pun dengan mainan, anak laki-laki tak boleh mainan boneka, peralatan masak, bunga, peralatan dandan dan sebagainya. Sebaliknya, anak perempuan tak boleh bermain mobil-mobilan, peralatan tukang-tukangan, main bola dan sebagainya.

Padahal sebenarnya tak bisa dipungkiri, pakaian-pakaian yang digolongkan pakaian anak laki-laki biasanya lebih simple dan serbaguna untuk dipakai anak dalam beraktivitas. Dan sebaliknya, pakaian yang digolongkan pakaian anak perempuan cenderung menempatkan keindahan di atas segalanya sehingga terkadang agak menghambat aktivitas anak.

Tak jadi masalah jika anak perempuan menggemari pakaian-pakaian yang memang diperuntukkan anak perempuan. Asal anak suka dan menikmatinya, hal tersebut tidaklah masalah.Yang jadi masalah adalah saat orang tua atau lingkunganlah yang memaksakan pemilihan pakaian tersebut. Kalau anak perempuan selalu dipakaikan pakaian yang simple terkadang orang tua dan lingkungan mencapnya sebagai anak yang tomboy. Mengolok-oloknya bahkan memarahinya. Sungguh patut disayangkan.

Agak berbeda dalam hal mainan. Mainan anak laki-laki maupun anak perempuan sebenarnya tak begitu berbeda. Sama-sama menariknya. Sayangnya pemaksaan kehendak yang tak peka gender justru makin parah dalam hal ini. Entah sengaja atau tidak orang tua atau lingkungan justru memberi batasan gender yang cukup ketat dalam hal ini. Mainan anak laki-laki dan mainan anak perempuan seperti diwajibkan untuk berbeda.

Adakah hal ini adil untuk anak-anak kita? Bagaimana misalnya kalau sebenarnya anak perempuan kita berbakat jadi ahli automotif, ahli teknik atau pekerjaan yang sekarang diklaim sebagai pekerjaan laki-laki lainnya? Bagaimana jika anak laki-laki kita sebenarnya memiliki talenta sebagai juru masak, perancang busana, perangkai bunga handal dan pekerjaan yang disorongkan sebagai pekerjaan-pekerjaan perempuan lainnya?

Haruskah kita menghambat bakat mereka, sedari mereka masih belia? Semua memang tergantung pada kekuasaan kita. Tapi sekali lagi... sudah selayaknya kita merenungkan apa yang dipesankan Kahlil Gibran, "Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu".

Wednesday, September 30, 2009

Matryoshka & Pahlawan Kota Higgly, Indonesia KIta Harusnya Bisa

I'm a Higglytown Hero, brave and true,
I help the town with the things I do.
So work real hard and you will see
That you can be a hero, just like me!
A hero, just like me!

(The hero sings of Higglytown Heroes)


Dahan seneng sekali dengan tayangan Higglytown Heroes yang diputer di TV. Karakternya lucu dan unik. Dari dalam tubuh satu karakter utama bisa bermunculan bermacam karakter lainnya dan begitu seterusnya.

Ceritanya juga sederhana dan cukup mendidik. Tentang keteladanan dalam hidup dan bersosialisasi. Visualnya sangat lucu dan menggoda. Sebuah tontonan buat anak-anak yang sangat menggoda.

Awalnya kita hanya sekedar suka tanpa tahu apa ide dasar dari karakter-karakter lucu yang ada. Sampai akhirnya om Yadi pulang dari Rusia. Om Yadi membawa sebuah boneka. Matryoshka sebutnya. Sebuah boneka khas Rusia yang sangat legendaris. Nah... berkat om Yadilah maka Dahan dan ayah-ibu tahu bahwa ide kreatif Higglytown Heroes, berasal dari eksistensi boneka ini.

Sejarahnya nama "matryoshka" tersebut diambil dari nama "Matryona", yang merupakan nama dari seorang wanita Rusia yang bertubuh gemuk. Menariknya dari boneka Rusia ini adalah dari boneka utama yang gemuk, dapat diisi dengan bentuk karakter boneka-boneka lain yang lebih kecil.

Meskipun dianggap khas Rusia, Boneka Matryoshka ini konon idenya berasal dari Jepang namun sudah menjadi trade mark Russia sejak tahun 1890. Awalnya adalah Sergei Maliutin, seorang pelukis Russia dari Abramtsevo yang terinspirasi dengan boneka kayu klasik Jepang Shichi Fuku Jin (7 Dewa Keberuntungan) dan Fukurokuju (boneka lelaki lucu dengan kepala botak). Pelukis ini minta bantuan kawannya seorang pengrajin untuk membuat bonekanya dan kemudian dilukisnya.

Yang unik, lukisan pada boneka ini berisi cerita cerita berseri mulai dari cerita klasik Russia, kepahlawanan Tsar Russia, dan bahkan yang sedang laris saat ini adalah tentang 'American's Friends' seperti Osama Bin Laden, kalau dibuka di dalamnya ada Saddam Hussein, dibuka lagi ada Ahmadinejad dan lain lain.

Terjawab sudah. Higglytown Heroes nyata-nyata mengadopsi konsep Matryoshka dalam media yang berbeda saja. Kreator Higglytown Heroes tidaklah sekreatif yang terpikirkan sebelumnya. Tapi harus diakui, mereka memang pandai memanfaatkan warisan tradisi dan mengemasnya kembali dalam aplikasi kreativitas modern yang boleh jadi bisa mendekatkan anak-anak mereka bahkan dunia pada tradisi yang ada di daerahnya.

Berangkat dari fenomena Matryoshka dan Higglytown Heroes tersebut, mungkin insan-insan kreatif Indonesia bisa amencoba mencari ide untuk mengemas wayang, dan budaya-budaya tradisi lainnya dalam bentuk-bentuk yang lebih inovatif dan modern sehingga tidak terkubur, dilupakan dan sampai-sampai diklaim oleh negara lain.

Thursday, September 10, 2009

Kalung Daun Singkong, Mainan Engkongnya Engkong

Suatu siang dahan main ke tempat Pakde. Wah... menakjubkan. Meski masih di Jakarta, ternyata ada kebun singkong di belakang mushola samping rumah Pakde. Melihat itu ayah dahan seperti mencoba mengenang sesuatu. Kemudian ayah memetik sebuah daun singkong yang bertangkai panjang. Otak-atik sebentar dan happpp.... sebuah kalung cantik siap dipakaikan ayah ke leher dahan.
Ternyata daun singkong bukan hanya enak buat sayur. Ternyata daun singkong lengkap dengan tangkainya bisa kita jadikan mainan kreatif bagi anak. Mainan alami yang merangsang dan menantang daya kreasi anak-anak.

Mainan yang berupa kalung daun singkong ini bisa kita ajarkan dengan sangat sederhana. Pertama ambil daun singkong segar (yang belum layu) kengkap dengan tangkainya. Kira-kira ambil ukuran satu senti dari pangkal tangkai dan patahkan ke samping secara tidak sempurna sehingga menyisakan kulit tangkainya.
Kemudian ukur sama patahan yang tersisa dan patahkan secara tak sempurna juga ke arah yang berlawanan. Lakukan patahan kedua sisi tersebut secara bergantian sampai akhirnya habis ke daun.

Terakhir potong jari-jari daun sesuai selera sehingga membentuk bandul seperti matahari. Kemudian ambil lidi , potong kira-kira sesenti dan tancapkan ke ujung-ujung pangkal tangkainya sehingga bisa untuk menyatukan sang kalung.

Whew... kalung daun singkong warisan engkongnya engkong pun siap dijadikan aksesoris fashion si kecil. Yuuuukkkkk... kita hidupkan kembali mainan kuno yang alami dan dekat dengan alam yuuuukkk.