Thursday, September 20, 2007

Hadiah Terindah Ultah Ayah


27 Maret, hari itu ayah ulang tahun. sayangnya hari itu ayah tak bisa merayakannya bersama ibu. Karena bukan hari libur ayah harus tetap bekerja di Jakarta, sementara ibu musti bersiap-siap menyongsong kelahiran dahan di bumiayu. Itu sebabnya ayah dan ibu tak perlu bersedih. cinta dan persiapan kelahiran buah cinta mereka lebih penting dari segalanya.
Tak terasa akhirnya hari itu pun lewat sudah. Ulang tahun ayah lewat tanpa pesta dan hadiah. Namun bukannya tak berarti apa-apa. Selalu ada cinta antara ayah dan ibu yang selalu menghiasi kisah antara mereka untuk selamanya.
28 Maret 2007, hari itu ayah masih juga disibukkan dengan bermacam kerja di Jakarta.sampai siang, usai jam makan siang ayah mendapatkan telpon dari ibu. Agak gemetar namun tetap tabah, ibu mengabarkan bahwa tanda-tanda kelahiran si kecil sudah semakin kuat. Ibu meminta ayah berdoa dan tetap tenang dalam bekerja. Sejenak ayah tersentak. Meski berusaha tetap tenang, tak urung ayah pun kelabakan. bergegas rampungkan kerja dan bersiap menjemput ibu yang nun jauh di bumiayu. Bagaimanapun juga ayah merasa harus segera bersama ibu. Ayah harus segera ke sana, secepat apa pun yang bisa.
Ternyata benar, tanda-tanda kelahiran si kecil memang tlah tiba. Tukang becak tetangga Yangti segera dipanggil. Ditemani Yangti ibu pun pergi dengan becak ke tempat bidan imung.
Sesampainya di bidang Imung ibu langsung ditangani. Sebenarnya bidan Imung bukanlah orang asing lagi bagi ibu dan Yangti. Anak bidan Imung yang sekarang juga menjadi bidan adalah teman sekolah yang cukup akrab dengan tante inung. Tapi lagi-lagi penanganan layanan kesehatan di Indonesia memang menjengkelkan. Ketika sedang sakit-sakitnya ibu menahan mules dan mengalami pembukaan kelahiran, pegawai bidan imung malah sibuk menanyakan nama, alamat, no KTP, siapa yang bertanggungjawab dan sebagainya. Benar-benar mengenaskan. Cermin buruknya layanan medis di Indonesia ternyata tak hanya berhenti di kota. Pelan-pelan sepertinya telah menyelusup ke kehidupan masyarakat daerah yang seharusnya lebih beradap dan manusiawi.
Uang benar-benar telah menjadi dewa, bahkan disaat orang mengerang.
Untungnya, pegawai di bidang Imung tersebut belumlah begitu tercemar. Saat kejengkelan ibu memuncak dan orang tersebut dibentak, pegawai itupun lebih mau sedikit bersabar. Setidaknya sedikit lebih bagus dibanding pegawai layanan kesehatan kota yang benar-benar meletakkan keterjaminan uang di atas segala layanannya.

Didampingi yangti yang tiba-tiba menjadi jagoan ibu pun menjalani prosesi hidup mati sebuah kelahiran yang benar-benar tak kan terlupakan. Hebatnya Yangti benarbenar menjadi jagoan. Biasanya setiap ada orang sakit, yangti selalu panik dan ikutan sakit sendiri. Baru sekedar mendengar saja bahwa ada keluarga yang sakit, yangti biasanya langsung bolak-balik ke kemar mandi karena buang-buang air.
Detik-detik berjalan menegangkan. Ayah masih di terminal,ibu mengerang kesakitan. Ayah berkeringat kegerahan, ibu bermandi keringat kesakitan, yangti berkeringat berusaha tabah. Ayah duduk tengadah di kursi bis buluk tak ber-AC. Ibu duduk tak karuan, kadang telentang, kadang mengangkang, kadang mengerang menahan sakit dan kadang menggigit bibir bertahan. Yangti berjalan bolak-balik berusaha mengusir khawatir.

Sekejab bis ayah tlah meninggalkan Jakarta. Bis meluncur lancar masuk tol tanpa hambatan. Tak lama para penumpang mulai terkantuk-kantuk keenakan. Namun di kursi Ayah makin gelisah tak karuan. Ingin terbang sekejab mata langsung ada di samping ibu sekarang juga. Ibu masih mengerang kesakitan. Mengatur napas sesuai yang dibutuhkan. Berusaha tenang sesuai hitungan. Namun bidan Imung malah ketakutan. Sepertinya ada masalah yang tak bisa dia selesaikan. Akhirnya bidan Imung dibantu anaknya bidan Ika, temennya tante Inung, menyerah. Konon si kecil agak berulah. Meski pembukaan ibu telah cukup tapi si kecil masih belum mau turun ke bawah. Lagi-lagi kembali. Akhirnya dengan naik becak, ibu ditemani sebecak oleh bidan Ika, dan yangti dan bidan imung di becak lain berangkat memboyong ibu ke Klinik bersalin milik dokter Hadi. Dokter terahli di Bumiayu dan juga di Purwokerto. Kebetulan dokter dan istrinya yang juga bidan sedang ada di tempat. Akhirnya ibu pun segera mendapatkan penanganan yang semestinya.
Anehnya, berbeda dengan apa yang diprediksi oleh bidan Imung yang sebelumnya mengatakan bahwa si kecil akan lahir agak terlambat yaitu sekitar pukul 02.00 WIB malam, ternyata di depan dokter ahli si kecil tak lagi bandel. Tak butuh waktu lama lagi, ternyata si kecil sudah langsung bersiap-siap meluncur ke dunia ini.
Matahari belum lama tenggelam. Sisa cahaya-nya masih lembut tinggalkan terang yang buram. Bintang-bintang mulai berkedip lemah. Daun pepohonan tengadah. Sayup angin mendesir pelan. Sentuh daun-daun bergoyang senandungkan harapan. Tepat menjelang Azan Isya berkumandang, jerit tangisan yang nyaring melengking menyapa malam. Angin kembali mendesir pelan. Daun-daun bergoyang, makin khusyu gumamkan syukur Tuhan. Tak perduli darah yang berlepotan, Yangti bangkit bawa si kecil. Merunduk pelan-pelan dan yakin bisikkan Adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri.
Di jalan bis ayah melaju kencang. tenang... sampai tiba-tiba sebuah batu agak besar terantuk roda yang bundar. Ayah tersentak dalam kegelisahan yang makin tak tertahankan. Bis bergoyang agak keras. Pintu kaca bis terkuak sedikit. Angin mendesir cukup kencang. Tampiasnya menepis tipis daun telinga ayah. Sebelum pergi terusik masik, desirangin seperti berbisik pada ayah. "Hadiah terindah ultah ayah telah ada di pelukan ibu tersayang. Met ultah ayah..."

No comments: