Thursday, September 20, 2007

Di Pingir Lapangan, Di Depan Kali


Tanah kosong itu mirip lapangan bola. Pasalnya dua buah gawang sepakbola ada di ujung-ujungnya. Rumput-rumputnya tumbuh acak dan menyebar tak beraturan. Di satu sudut nampak rimbun, di sisi lainnya tumbuh agak jarang sementara di tengah-tengah benar-benar botak dan berlubang seperti kubangan.
Meski tidak bagus namun setiap sore banyak anak-anak yang bermain bola di situ. Apalagi kalau hari Minggu. Ada seorang guru olahraga yang mengajar main bagus pada anak-anak kampung di situ. Memang, lapangan itu tidaklah bagus, tapi pemandangan yang nampak dari lapangan itu benar-benar indah. Dari jauh nampak gunung Slamet, yang puncaknya jarang terlihat karena selalu tersaput awan dan kabut. Sepanjang jalan ke arah gunung Slamet tersebut, nampak sawah membentang yang hijau dan terhampar luas.
Lapangan "Pendawa" begitulah kira-kira orang menyebutnya. Karena ada di sekitar lapangan PEndawa tersebut maka daerah tersebut disebut juga sebagai komplek lapangan Pendawa. Di daerah inilah rumah Yangti-nya Dahan berada. Rumah sedang yang sederhana itu tepatnya berada di sisi selatan dari lapangan Pendawa. Tepat di pinggir selatan lapangan tersebut. Akibatnya setiap ada bola yang tertendang melenceng, tak jarang genteng rumah YangTi menjadi rusak dan bocor.
Namun tanpa takut selalu bocor, rumah YangTi memang menghadap ke lapangan itu. Jadi tak perlu keluar rumah kita bisa melihat pertandingan yang berlangsung di lapangan melalui jendela depan rumah yang semuanya berupa kaca.
Rumah Yangti tidaklah besar, namun juga tak bisa disebut kecil. Soalnya bagian depan rumah masih bisa menampung beberapa bangku sekolah yang selalu digunakan YangTi untuk mengajar anak-anak desa mengenai menjahit dan modiste. Meski muridnya selalu ramai, tapi Yangti tak pernah kecapean dan malas untuk mengajar. Dengan sabar yangti membimbing mereka sampai dua kali sehari. Sekali seperti jam-jam sekolah pada umumnya yaitu waktu pagi, dan sekali lagi setelah jam makan siang buat murid-murid yang masih ingin memperjelas pelajaran.
Rumah yangti bukanlah terbuat dari keramik yang mahal. Tapi rumah ini selalu terjaga kebersihannya. Tak kalah dengan hotel Yangti rajin menghias rumah dengan rangkaian bunga yang dipetik sendiri dari taman bunga mini yang ada di depan dan samping rumah.
Namun berbeda dengan rumah2 desa yang benar-benar masih desa, lahan di rumah Yangti cukup terbatas. Itu sebabnya hanya bisa dimanfaatkan untuk membuat taman bunga kecil yang bisa dipakai untuk menyemarakkan rumah.
Tak ada lagi lahan untuk membuat lubang penampungan sampah, namun tak seperti halnya kehidupan di kota, tak ada juga tukang sampah yang mengumpulkan sampah dari rumah-rumah. Sampah dari rumah Yangti cukup dibuang di sungai yang berada beberapa meter di belakang rumah. Cukup mengganggu memang. Namun karena pemerintah kecamatan tak berminat mengurusnya maka kebiasaan itu seperti sudah jadi budaya. Keindahan aliran air yang menerjang bebatuan gunung agak berkurang karenanya. Namun karena aliran air yang tak pernah berhenti, bermacam batu-batuan gunung yang tua, terasah mengkilatoleh alam dan terserak acak di sepanjang sungai masih mampu menyuguhkan keindahan tersendiri bagi sungai itu. Apalagi pohon-pohon rindang masih banyak tumbuh berjajar sepanjang sungai, meliuk-liuk genit tertiup angin seperti menyanyi diiringi oleh gemericik air.
Ya sungai itu masih cukup indah. Tentu saja sangat jauuuuh lebih indah kalau dibandingkan dengan ciliwung. Entah bagaimana ceritanya orang-orang di situ memberi nama sungai ini dengan nama Kali Erang. Karena sungai ini cukup dominan sebagai ciri desa maka desa situ pun juga diberi nama desa Kalierang.
Nah di rumah sederhana berukuran sedang yang berada di pinggir lapangan dan di depan Kali Erang inilah ibu memutuskan untuk menunggu dengan bahagia detik2 kelahiran dahan.

No comments: