Tuesday, February 24, 2009

"Burn Out"

Konon rutinitas pekerjaan yang harus dijalani secara terus-menerus akan menyebabkan perasaan menjadi mati rasa. Empati, simpati, kepekaan kepedulian, sensitivitas, atau apapun istilahnya yang berhubungan dengan perasaan tiba-tiba menghilang. Memang semuanya terlihat berjalan dengan lancar, namun bila diselami semuanya telah menjadi hambar, dingin, beku dan hampa. Tak ada lagi unsur-unsur perasaan yang berperan di sana. Semuanya menjadi seperti mesin. Terus berjalan namun tanpa peran serta hati di dalamnya. Fenomena inilah yang oleh para kalangan intelektual dinamai dengan istilah "burn out".

Bila menimpa pada profesi-profesi yang tidak berhubungan pada layanan publik atau berhubungan dengan manusia tentunya fenomena ini bukanlah masalah serius. Sayangnya fenomena ini sering menimpa pada profesi-profesi yang membutuhkan kepekaan perasaan semisal baby sister, perawat, regu penyelamat (SAR), dokter dan yang lainnya.

Pengalaman pahit mengenai para dokter yang terjangkit "burn out" sudah kutulis pada judul tulisanku sebelumnya. Masalahnya fenomena ini benar-benar mengganggu dan menjadi duri yang perih dalam kenyataan keseharian kita. "Burn out" inilah yang akhirnya menjadi biang kerok dari permasalahan yang menyebabkan aku sulit mencari PRT dan juga Nanny yang ideal bagi Dahan. Tentu saja sebagai sebuah keluarga muda yang tinggal dari sanak saudara fenomena jadi sangat merepotkan.

Pernah suatu sore, Nanny yang mengawasi Dahan datang menggendong Dahan yang pucat. Dengan santai yang dingin dia bertanya kepadaku,"Bu adek sakit yah... Kok badannya panas dan tadi muntah-muntah?" Muntah-muntah? "Apa tadi jatuh?" "Enggak bu, nggak kenapa-kenapa kok tadi." Masalah demam memang biasa. Pasalnya tadi pagi Dahan baru saja diimunisasi campak. Tapi muntah-muntah? Karena khawatir akupun buruan menelpon dspa-nya. Kata dspa kalau demam memang wajar, tapi muntah-muntah harusnya itu bukan karena imunisasi. Masalah demam, cukup diberikan obat demam saja, begitu kata sang dspa. Semalaman itu Dahan beberapa kali muntah-muntah. Esok paginya Dahan nggak mau makan sama sekali. Segera kutelpon kembali dspa-nya. Tapi nggak menjawab. Mungkin karena hari minggu jadi sang dokter sedang berlibur. Kutelpon beberapa RSIA juga tak ada dokter anak yang jaga. Akhirnya kucoba menangani sendiri sebisanya. Nyampe sore Dahan masih saja nggak mau makan. Badannya kelihatan lemes. Sampai akhirnya seorang tetangga yang baik menyapa dan menanyakan kondisi Dahan yang kelihatan lemas. Dia bercerita mungkin sakit Dahan itu disebabkan kemarin sore Dahan jatuh. Ia menyarankan agar segera dipijitin dan CT scan saja. Apa? Dahan jatuh???

Sontak akupun kalap. Kok tega-teganya yah, sang Nanny mendiamkan begitu saja peristiwa jatuhnya Dahan tersebut. Benar-benar berbahaya, nyawa anak kecil taruhannya. Apalagi anak kecil belum bisa bercerita tentang apa yang dialaminya. Meski akhirnya dari hasil CT Scan keesokan harinya ternyata Dahan tidak mengalami trauma yang serius, tapi trauma psikis yang kuterima akhirnya memaksa aku dengan berat hati untuk memberhentikan sang Nanny. Kutakut hal ini akan terjadi berulang dan berulang lagi.

Apakah sang Nanny telah terjangkit oleh "burn out" juga? Berapa banyak Nanny-nanny lain yang juga terjangkit "burn out" ini, sehingga lebih mengutamakan keselamatan dirinya dari omelan majikan dari pada keselamatan sang anak yang notabene menjadi tanggung jawab utamanya? Sungguh hidup di zaman ini telah memunculkan begitu banyak resiko yang semakin besar.

Melihat banyaknya fenomena "burn out" yang menjangkiti orang-orang dengan beragam profesi sekarang ini, aku hanya bisa berdoa, "Mudah-mudahan "burn out" tidak menimpa para suami, menimpa para bapak, dan apalagi para ibu. Sungguh bisa dibayangkan betapa tragisnya jika ibu juga mengalami "burn out" dalam melihat anak-anaknya.

No comments: