Tuesday, October 2, 2007

Bayi Hijau Dipeluk Hijau Alami


Bumiayu adalah kota kecamatan kecil yang tumbuh terlalu cepat. Akibatnya ciri khas kota kecil yang seharusnya unik justru menghilang dari pusat kotanya sendiri. Berada di pusat kota Bumiayu justru kita merasakan kesesakkan laiknya di Jakarta. Orang-orang yang seperti dikejar waktu, kerapatan yang tanpa jarak, lalu lalang orang yang tak juga jeda, dan keadaan-keadaan yang menjengkelkan lainnya.
Untungnya area laiknya mini jakarta ini tak begitu luas. Total jendral hanyalah seluar satu kelurahan di Jakarta semata. Jadi tak perlu tenaga besar untuk melarikan diri dari sana. Cukup naik becak, ojek bermotor trail, atau dokar berkuda, kita pun dengan gampang mengaburkan diri dari keruwetan kota, dan segera menemukan hijaunya pesawahan yang terhampar, atau kebun teh yang berkabut dingin kalau mau lebih jauh lagi, atau hutan-hutan pegunungan slamet yang rimbun dan penuh misteri jika kita pergi tanpa tanggung-tanggung lagi.
Dilihat dari atas emang topografi kota bumiayu cukup memusingkan. Tapi untungnya kota kecil ini berada di lereng gunung tinggi nomer dua di jawa (gunung Slamet). Meski kotanya padat dan sesak tapi dikelilingi oleh luasnya area pesawahan, pegunungan dan hutan lebat yang masih cukup hijau. Sehingga meskipun aktivitas kota bumiayu cukup banyak menghasilkan polusi, hijau sekelilingnya mampu menjadi paru-paru raksasa yang tak pernah lelah memompa udara baru yang segar dan bersih.Tak salah jika ayah dan ibu memilih kota ini sebagai tempat kelahiran dahan. Lebih klop lagi karena rumah yangti bukan berada di pusat kota. Melainkan perbatasan antara kompleks perumahan di kota bumiayu dengan kompleks pesawahan yang mengelilingi bumiayu. Cukup berjalan kaki beberapa puluh meter saja, setiap pagi ayah dan ibu bisa menemukan liatnya lumpur pesawahan yang terinjak kaki telanjang, butir-butir embun pagi berbaur kabut yang menempeli helai-helai rambut dengan butiran butiran air halusnya, dan samar gunung gagah yang menyerah oleh tebal saput kabut yang menghalangi penglihatan. Tentu saja hijau permadani tanaman padi yang terhampar datar di lumpur berair kali adalah pemandangan galib yang selalu menohok tatap mata.
Lega... begitu kata ayah selalu setiap menghirup dalam udara sawah yang melimpah ruah tanpa sampah. Segar dan menjelma candu yang justru menyehatkan bagi ayah-ibu dan tentu saja dahan yang masih bayi hijau. Dengan lahir di kota inilah dengan gampang dahan, yang masih bayi hijau, bisa merajuk manja pada hijau segar alam yang mampu meninabobokannya dalam kemewahan oksigen tak berpolusi. Di kota ini jugalah, mata hijau si dahan, bisa menyaksikan betapa ketidakmodernan justru membawa kesyahduan yang melenakan seperti halnya petani bermandi lumpur yang membajak sawah dengan kerbaunya yang hitam legam warisan emak bapaknya. Di kota inilah Dahan, Ayah, Ibu dan Alam bisa saling memanjakan tanpa perlu saling melukai. Hijau damai, hijau tenang, hijau segar, hijau melenakan, hijau menyejukkan, hijau alam, hijau hati yang selalu mencintai indah alam ini.

2 comments:

Unknown said...

salam kenal mba
Mba, bumiayunya sebalh endi donge ?
kayong rame juga blog punya mba.
Semoga sering menulis yah..
Blogku di kauman.blogspot.com

Anonymous said...

Mba Rokhmah .. pa kabar ? angger ndeleng fotone tah, kayonge yah esih apal .. soale gemiyen gawene aku kasti neng pendawa , bala koh karo ibu ( Bu Demi ) .. tapi aku memang kancane Ipuk , Indah , Atit , yanto .. akeh lah neng pendawa ..
aku saiki neng Yogya mba .. wis betah sih , kayonge tah wis ora pindah pindah maning .. tetep neng Yogya ..
anyway , ini blog ku : www.anny-grandjava.blogspot.com
Tanti Sumali