Monday, September 15, 2008

Helm... pembuat maskulin?


Helm adalah sistem proteksi kepala, warisan zaman kuno, yang masih saja berguna hingga saat ini. terlepas dari sejarah penggunaan helm yang cukup panjang, kalau dipikir-pikir, ternyata helm itu sangat bernuansa patriarki ya...
Pasalnya kalau kita lihat tak ada sisi feminis sedikit pun dari sebuah helm. yang ada cuma nuansa machomatis aja. Tak ada helm yang penampilannya benar-benar bisa mengeksplorasi sisi feminis perempuan pemakainya. Apapun jenis kelamin pemakai helm selalu nampak maskulin.
Untungnya hal ini tidaklah begitu merugikan. Pasalnya meskipun nampak maskulin saat memakai helm, seorang perempuan yang manis tetep aja nampak manis. Bahkan nambah manis.... Gak percaya? Lihat saja penampilan Dahan di atas...
Setuju kan?

Friday, September 12, 2008

Wisata rekreatif atau jebakan konsumtif?

Tahukah kita? Kereta belanja adalah kendaraan roda empat paling banyak di muka bumi setelah mobil. Gak banyak yang menyangka kan? Apalagi di Indonesia. Malah banyak masyarakat rural dan pinggiran yang benar-benar belum pernah sekalipun memegang apa yang namanya kereta belanja tersebut.

Cerita tentang kelahiran kereta belanja bermula saat, Sylvan N.Goldman dari Oklahoma City, Amerika Serikat, seorang pemilik dua toko swalayan kecil di kotanya, iseng sering mengamati aktivitas pengunjung tokonya. Dari pengamatannya tersebut dia menemukan fenomena bahwa keterbatasan kapasitas keranjang yang yang disediakan toko, kerap membuat pembeli hanya membeli sedikit barang. Setelah keranjang penuh, pembeli segera menuju kasir dan pulang. Padahal sepertinya mereka bisa saja berbelanja lebih banyak. Fenomena tersebut menggelitik Goldman untuk mencari strategi baru agar pengunjung tokonya berbelanja sepuasnya tanpa terkendala kapasitas keranjang serta kesulitan membawanya.

Akhirnya Goldman menemukan sebuah ide yang cemerlang. Segera dia mendesain dan menciptakan kereta belanja pertama pada tahun 1937. Penemuannya tersebut terbukti dapat meningkatkan omzet penjualan secara signifikan sampai akhirnya ditiru penggunaannya oleh hampir semua toko-toko swalayan di seluruh dunia. Sampai akhirnya kereta belanja sekarang ini menjelma sebagai kendaraan roda empat paling banyak di muka bumi setelah mobil.

Meski terbukti di berbagai belahan dunia, kereta belanja sangat berperan dalam meningkatkan kuantitas belanja konsumen, namun ada yang unik di Indonesia. Di Indonesia, kereta belanja menjadi sarana pendukung wisata belanja, pasalnya dengan adanya kereta belanja, banyak keluarga yang menjadikan pusat perbelanjaan sebagai arena dolan. Keberadaan kereta belanja bisa dijadikan media mainan bagi anak-anak sembari menemani orang tuanya melakukan window shopping.

Nah... yang jadi masalah apakah wisata belanja ini bisa bener-bener menjadi media yang rekreatif atau justru menjadi media edukasi bagi anak-anak sehingga nantinya tercipta sebagai makhluk-makhluk konsumtif yang handal?

Wednesday, September 10, 2008

Mencoba Menumpang Mikrolet


Boleh jadi Mikrolet merupakan salah satu kendaraan publik yang tidak begitu nyaman. Namun apa boleh buat. Tuntutan hidup di kota besar Indonesia selalu menuntut keberanian untuk memanfaatkan sarana publik yang tidak nyaman tersebut, guna menunjang aktivitas hidup. C'est Lavie... terutama di Indonesia.

Sore itu sebuah mikrolet diparkir di tempat parkir komplek tempat Dahan tinggal. Entah kenapa, hari itu pak sopir tidak memaksa mikrolet tersebut untuk beroperasi. Mungkin mesinnya lagi ngadat. Mungkin juga sopirnya lagi gak enak badan. Mungkin juga kehabisan bahan bakar dan belum ada duit buat beli. Atau mungkin juga memang pak sopir lagi malas buat narik.

Nah... mumpung mikrolet ini tak sedang melaju ugal-ugalan, ada kesempatan buat Dahan mencoba menaikinya. Gak cuma mencoba sebagai penumpang. Kepalang basah... coba sekalian bagaimana rasanya mencoba menjadi awak mikrolet yang membantu sang sopir berteriak-teriak mengundang penumpang.

Ah... ternyata, naik mikrolet tak sebahaya yang diceritakan orang-orang dari jalanan yah. Buktinya... Dahan aja bisa kok. Hehehehe..........
Sayang yah... adanya cuma mikrolet. Seandainya yang diparkir di situ, sore itu, adalah bemo.... Waaaah Dahan bisa dong, nangkring di atasnya sambil menyanyikan lagi yang pernah diajarin ayah...

"eeee...bemo rodane telu... cet ijo... karo sing biru....
cah bodo wegah sinau... yen bodo mesak ake ibuuuu..."

Balada kereta belanja wisata..


Boleh jadi budaya belanja telah dianggap sebagai candu yang menjerumuskan kehidupan manusia. Kemunculan pasar-pasar modern seperti mal-mal, supermarket, plaza dan tempat belanja megah lainnya dikhawatirkan menciptakan orang-orang yang terjebak pada budaya yang tidak produktif. Menciptakan manusia-manusia yang konsumeristis yang lebih keren lagi disebut dengan istilah shopaholic. Manusia-manusia yang kecanduan aktivitas belanja tanpa mempertimbangkan lagi apa saja yang sebenarnya dibutuhkannya. Terperosok dalam aktivitas penghambur-hamburan dana sehingga kesulitan mencari biaya dengan segala cara.


Untungnya ini Indonesia...
Tak semua mesin pemikat belanja bisa berfungsi sesuai rencana. Pasar-pasar modern yang mempesona, tak selalu bisa merangsang hasrat untuk menghamburkan dana yang dipunya. Banyak yang menjadikannya sekedar tempat wisata. Tempat menarik untuk bersukaria, bahkan tanpa harus mengeluarkan biaya. Cukup melihat-lihat barang-barang yang dipajang, sesuka yang kita bisa. Tak perlu beli apapun... cukup melihat-lihat. Siapa tahu banyak ide kreatif untuk wira usaha justru muncul dari sana. Hehehe.... merek-merek terkenal yang ada, selalu bisa dibuat versi palsunya...

Apalagi sekarang banyak disediakan kereta belanja. Fasilitas murah meriah yang bisa dijadikan mainan anak-anak kita. Bisa dipakai mobil-mobilan, kereta-keretaan atau apapun yang anak-anak kita suka. Dan yang penting... Sekali lagi... tak perlu harus belanja. Mari budayakan wisata belanja. Bersukaria di tempat belanja tanpa harus berbelanja. Tak ada yang bisa mencela, karena ini adalah Indonesia...
ILU Indonesia!!! Negeri yang kucinta....

Wednesday, September 3, 2008

Layang-layang yang tercampak

Angin berhembus cukup kencang. Sepasang layangan meliuk-liuk di angkasa, liar. Beradu tajam benang, beradu kuat gelasan. Sang empunya beradu kepandaian.
Sampai akhirnya salah satu melambung lunglai, putus benang. Kalah. Terombang-ambing angin, dan melayang pasrah, tanpa kendali. Terus melayang menuruni awan, meliuk turun melintasi bubungan atap-atap rumah orang. Terus melayang.... sedikit tersendat kala benang tersangkut tonggak-tonggak antene TV dan batang-batang pohon yang satu dua hiasi kawasan perkotaan.
Layang-layang lunglai terus meluncur pelan. Limbung... dan terpuruk di antara kaki-kaki dahan yang kebetulan sore itu bermain di halaman parkir rumah bersama ayah. Sontak dahan tertegun, tersentak tak percaya. Namun sekejab dia pun berteriak kegirangan. Tentu saja dengan bahasa planetnya yang kocak dan tak bisa dimengerti orang itu. Langsung saja ia ngejebrok memainkan layang-layang tersebut. Tak perduli lantai halaman yang tak begitu bersih, tak perduli matahari yang semakin surut, tak peduli sore yang beranjak larut. Nampaknya yang dia perdulikan hanyalah satu hal," Kenapa yah layangan ini bisa sobek?"