Saturday, September 29, 2007

Berkarib Sinar Mentari Pagi

Potensi alam dalam membantu pertumbuhan anak sangatlah besar.Asalkan alam tidak rusak maka begitu banyak manfaat langsung yang bisa kita petik untuk membantu pertumbuhan bayi. Itulah salah satu sebab kenapa ayah dan ibu memilih bumiayu, kota kecil di lereng gunung slamet sebagai tempat kelahiran dahan. Alamnya yang msaih segar, udaranya yang tidak begitu tercemar dan hijaunya yang masih segar diharapkan mampu memaksimalkan perkembangan jiwa dan raga dahan. Supaya dahan sehat dan tahan banting, setiap pagi dahan yang masih sagat kecil dibiasakan berjemur di hangat sinar matahari pagi. Hangatnya sinar mentari pagi yang lembut menyeruak, menembus lembab kabut embun yang masih enggan meninggalkan daratan. Dahan terlihat meriap-riap bersemangat menikmati sensasi sentuhan sinar mentari pada kulitnya yang masih super sensitif.
untuk pertimbangan keamanan, yangti menyarankan agar yang berjemur dengan dahan adalah ayah saja. Pasalnya karena ini di kampung ibu, maka kalau yang berjemur bareng dahan adalah Yanti atau ibu maka tetangga-tetangga dan orang yang kenal pasti menyapa. Akibatnya tak bisa dicegah mereka bisa saja mengerubungi dahan, mencium, mencolek dan banyak lagi ancaman mengerikan lainnya. Padahal kondisi dahan masih sangat rentan. Sangat sensitif terhadap penularan virus, bakteri, dan kuman-kuman penyakit. Kalau ayah yang berjemur dengan dahan, maka orang-orang menjadi enggan dan tak berani sembarangan mendekat ke dahan. Alhasil dahan bisa berjemur dengan tenang, nyaman dan puas. Tapi sesekali kalau keadaan sedang aman, dahan pun tak enggan untuk berjemur dengan ibu. Berjemur dengan matahari pagi benar-benar merupakan aktivitas pertama dahan untuk berkarib dengan kekuatan alam. Mudah-mudahan saja, ozon yang selama ini mampu jadi filter agar sinar surya tak lagi bahaya mampu terus terjaga dari ancaman-ancaman pengrusakan oleh aktivitas manusia yang serakah.

Thursday, September 27, 2007

Most Beautifull Girl in Our Hearts


"Bebek mosok'o ra iso nyilem, anake dewek mosok'o ra di alem", mungkin benar apa yang dikatakan mbah Masli ini sambil tertawa waktu usai memandikan dahan dan ditemani ayah-ibu dan yangti. Pada waktu itu ibu-ayah dan mbah Masli tak henti-henti memuji dahan yang terlihat cantik seusai mandi.
Memang bagaimanapun juga ayah-ibu dan yangti tentu tak bisa objektif. Anak dan keluarga sendiri bagaimana pun keadaannya pasti dikatakan cantik. Hehehe tapi bener kok dahan memang cantik, itu terbukti dari kata beberapa orang yang menjenguk dan melihat dahan. Entah basa-basi atau cuma sekedar menyenangkan kami yang jelas menurut kami dahan memang bener-bener cantik, lucu dan menggemaskan.
Yang masih membingungkan adalah warna kulit dahan yang masih selalu berganti-ganti. Terkadang kelihatan putih dan terkadang berubah menjadi hitam. Maklum peluang dahan untuk memiliki kulit putih atau pun hitam adalah sama. 50% peluang putih dari ibu dan 50% peluang hitam dari ayah.
Ayah sih berharap dahan berkulit putih. Masalahnya tak bisa dipungkiri bahwa negeri ini masih sangat rasialis terhadap warna kulit. Yang cantik di negeri ini adalah yang putih . Meski begitu ayah yang berpikiran modern tak begitu khawatir. Kalau toh akhirnya kulit dahan hitam, ya nggak masalah. Sebenarnya kulit hitam justru lebih sehat karena memiliki pigmen yang kuat. Justru kulit hitam juga yang acap dianggap sebagai kulit cantik bagi penduduk internasional.
Berbeda dengan alasan ayah, Yangti juga berharap dahan berkulit hitam dan berambut keriting seperti ayahnya. Itu sebabnya setiap rambut dahan agak basah habis mandi, Yangti seneng sekali mengacak-acaknya agar nantinya keriting. Lebih lucunya lagi Yangti menciptakan sebutan sendiri bagi dahan. "Black Sweet" begitu panggil sayang yangti pada dahan.
Akhirnya kita semua menyerahkan apapun nantinya jadinya dahan pada Tuhan YME. Cantik, pinter, cerdas, ceria, solehah dan sehat adalah doa kami. Selanjutnya hanya Tuhan-lah yang akan menentukan seperti apa nantinya dahan. Yang jelas bagi kami, Ayah-Ibu, dan Yangti, Dahan adalah gadis tercantik yang hadir dan mengisi hidup dan hati kami. Semoga Tuhan bener-bener memberkatinya, amieeen...

Wednesday, September 26, 2007

Pake' Tapel Biar Ga' Meler

Foto-foto dahan dan ibu di saat tiga bulan pertama tak
sering bersih mulus. di kening dahan selalu saja ada
sehelai daun yang menempel. Itu sebabnya sambil
tertawa ayah sering memanggil dahan dengan sebutan
"putri daun".

Daun itu bukanlah sembarang daun. Memang ia adalah
daun sirih biasa yang gampang kita temui di pekarangan
orang Indonesia atau juga tak jarang dijual di pasar.
Dibalik sehelai daun sirih yang menempel di kening
dahan itu terdapat ramuan rempah-rempah nusantara;
kunir, jahe, merica, tumbar dan entah apa lagi hanya
yangti dan mbah masli yang tau pasti.

Boleh jadi beberapa pakaian dahan, ibu dan ayah jadi
kuning karena seringkali tempelan daun berempah yang
di kening dahan lepas dan menempel di sana. Eh...
beberapa bantal dan seprei yang dipakai tidur dahan
juga bernasib serupa, menjadi kuning karena lelehan
kunir yang mencair.

Nah kalau kunir parutan kunir yang ada dibalik daun
sirih tersebut sering meleleh maka fungsi dari
tempelan daur sirih berrempah tersebut justru
sebaliknya.

Dengan tempelan yang disebut "tapel" tersebut maka
panas yang ada di kepala bisa terserap dan hidung
dahan jadi tahan terhadap ancaman pilek. Akibatnya
dahan tak gampang meler atau beringus hidungnya.
Ternyata hasilnya bisa dibuktikan. Sampai sekarang
Alkhamdulillah dahan sehat dan tidak sentrap-sentrup
karena ingus yang selalu menempel.

Lain kening lain tapelnya dan tentu saja lain
manfaatnya. Kalau tapel di kening dahan masih agak
simpel ramuannya, maka tapel yang ditempel di kening
ibu jauh lebih rumit bahan-bahan isinya. Yang jelas
tapel di kening ibu ini berfungsi untuk mendinginkan
suhu badan khususnya kepala ibu yang tengah melakukan
penyembuhan sendiri di masa paska melahirkan.

Bisa diibaratkan orang melahirkan adalah mesin yang
diforsir secara maksimal. otomatis mesin tersebut
perlu turun mesin. Dus begitu pulalah dengan orang
melahirkan. MEski dari luar ibu masih nampak cantik
dan sehat tapi organ-organ dalam ibu boleh dikatakan
hancur dan perlu berbagai perawatan teliti, rutin dan
kontinue. Termasuk salah satunya adalah menempel tapel
tersebut. Untungnya, meski tertempel tapel ramuan
yang bikin lucu, wajah ibu masih selalu kelihatan
cantik. Duuuuhhhh... ibu siapa dulu siiiih. Tentu saja
kalau dahannya cantik ibunya tentu juga cantik. I love
u ibu tersayang...



____________________________________________________________________________________
Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out.

http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545433

Tuesday, September 25, 2007

Lain Dukun Lain Spesialisasi

Jangan kira dukun yang kita ceritakan kali ini adalah
dukun mistis dengan berbagai kesaktian dan
mantra-mantra ghaibnya. Dukun dalam cerita ini adalah
orang biasa yang karena keahliannya entah yang
diwarisi secara turun temurun ataupun karena belajar,
mampu untuk merawat bayi dan ibu melahirkan secara
baik sesuai dengan kebijaksanaan lokal dan tradisional
yang masuk akal. Mereka murni bekerja dengan
mengandalkan keahlian yang mereka miliki dan tentu
saja didukung doa-doa secara islami, meskipun ada juga
sedikit nuansa abangan. Yang jelas keahlian dan
tips-tips perawatan bayi maupun ibu hamil yang
dimiliki dukun-dukun ini lebih banyak mengacu pada
keunggulan-keunggulan terapi alami dan natural.
Berbeda dengan dokter-dokter yang mengandalkan medik
dan ilmu modern.

ibu dan ayah dahan percaya bahwa dokter maupun dukun
bayi/dukun beranak memiliki masing-masing keahlian
tersendiri yang mampu saling melengkapi. Itu sebabnya
dalam perawatan dahan ayah dan ibu berusaha
mengkolaborasikan antara dokter spesialis, bidan, dan
dukun sebagai unsur-unsur yang saling menyempurnakan.

kolaborasi ini dimulai sejak dari awal prosesi sebuah
kehamilan. Sebelum ibu hamil, sebelumnya rahim ibu
dipijit oleh Bu Tum, seorang dukun beranak yang
tinggal di cawang, tepatnya di pinggiran kali ciliwung
jakarta. Setelah hamil perawatan ibu ditangani oleh
banyak dokter ahli.

Pertama ibu ditangani seorang dokter perempuan dari
rumah sakit Evasari Percetakan negara. Sebuah rumah
sakit khusus yang cukup bergengsi. Tapi ternyata ibu
tidaklah cocok. Akhirnya mencoba berganti-ganti dokter
sampai lebih dari tiga kali. Sampai akhirnya ibu
menemukan kecocokan dengan dr. Rifki. Seorang dokter
spesialis keturunan India yang wajahnya tampan seperti
Sahrukh Khan, bintang film ternama film India.

Menjelang kelahiran ibu pulang ke rumah Yangti di
Bumiayu. Perawatan ibu dilanjutkan oleh bidang imung &
bidan Ika, temannya tante esti, sebelum akhirnya
kembali ditangani oleh dokter spesialis ahli bernama
dokter Hadi.

Usai kelahiran, ibu dan dahan ditangani mbah Masli,
dukun bayi ahli yang sangat peduli pada kesehatan
bayi. Ibu pun juga menjalani berbagai perawatan paska
melahirkan bersama mbah masli.

Sayangnya ternyata mbah Masli hanya ahli untuk
mengurusi bayi. Perawatan paska melahirkan ibu terasa
kurang maksimal.


Akhirnya dari omong-omong dengan para
tetangga, yangti menemukan mbah Tao, seorang dukun
bayi juga yang ternyata sangat ahli dalam menangani
ibu-ibu usai melahirkan.

Akhirnya ayah dan ibu memakai dua ahli yang berbeda.
Mbah Masli khusus untuk merawat dahan dan mbah Tao
khusus untuk perawatan paska melahirkan bagi ibu.

Memang ternyata benar, lain dukun lain spesialisasi.
Kalau mau terapi yang benar-benar mumpuni, kita harus
mau mengkolaborsikan semua ahli yang kita kenali.




____________________________________________________________________________________
Pinpoint customers who are looking for what you sell.

http://searchmarketing.yahoo.com/

Monday, September 24, 2007

40 Days in Myth

Kira-kira gimana sih rasanya bila semua perasaan yang ada dalam hidup ini kita gabung jadi satu? bingung, takut, seneng, gelisah, capek, semangat, konyol, serius, bahagia, ngeri, udah deh pokoknya semua nyampur aduk jadi satu. Kira-kira begitulah perasaan ayah-ibu waktu awal-awal mulai bareng sama dahan.
Tiga hari dahan nginep di klinik. dirawat sama perawat yang memang sudah ahlinya dalam mengurus bayi, dikontrol dokter setiap pagi, memang sangat membantu dan menenangkan ayah dan ibu. Apalagi klinik ini termasuk yang terbaik di kota bumiayu ini. Satu kamar sendiri yang boleh dibilang sangat luas. ada dua tempat tidur yang bisa digunakan benar-benar cukup lumayan. Tapi berlama-lama di klinik bukanlah hal yang baik tentunya. Bukan masalah biaya yang tentu saja akan bertambah terus, tapi bagaimana pun juga tak ada tempat berteduh yang paling nyaman di hati kecuali rumah sendiri.
Akhirnya berani nggak berani kita harus keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah yangti.Lagian kenapa juga harus khawatir. Di rumah ada Yangti yang memiliki anak delapan sehingga boleh dibilang memiliki begitu banyak pengalaman masalah merawat anak kecil.
Hehehe sayangnya entah karena sayang atau karena sudah lama tidak memegang bayi lagi, Yangti agak canggung dan takut-takut untuk memegang dahan. hasilnya, ibu terpaksa kalang kabut mengurus dahan sendirian. Yangti hanya berani memberi saran serta mencarikan perawat bayi/dukun bayi berpengalaman yang ada di sekitar rumah.
Akhirnya Yangti memilih mbah Masli, seorang dukun bayi yang merupakan anaknya dukun bayi yang dulu merawat ibu dan anak-anak yangti lainnya.
Mbah Masli tinggal agak jauh dari rumah Yangti. Untuk ke tempat Yangti, harus lewat beberapa jajaran sawah, perumahan kampung, dan nyebrang jembatan kali erang. Kira-kira jauhnya tak kurang dari sekitar 3 kilometeran. Lumayan jauh untuk perjalanan kaki bagi orang seumuran mbah Masli ini.
Nampaknya Yangti tak salah. Mbah Masli ternyata memang piawai dalam merawar bocah. Sangat bersihan, teliti, hati-hati dan sayang sama dahan. Untuk mandi dahan mbah masli gak mau pakai air sumur mentah. Harus air mateng yang menurutnya cukup steril bagi anak kecil.
Dari mbah masli inilah ayah ibu banyak mendapatkan pengetahuan mengenai berbagai kebijaksanaan tradisional yang ternyata cukup penting untuk diperhatikan.
Boleh saja sih banyak orang mencibir dan mengatakan bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan itu hanyalah mitos belaka. Namun ayah dan ibu mempunyai pemikiran bahwa apa yang disebut mitos itu ternyata tak ada ruginya untuk ditaati dan justru banyak mendatangkan kemanfaatan yang terkadang kita abaikan.
Selama 40 hari pertama kehidupan si kecil, dahan, ayah ibu mencoba disiplin mentaati segala pantangan warisan orang-orang tua yang ternyata kalau kita jeli dalam mengamatinya tak sedikit manfaatnya.
Sayangnya karena menghormati mitos ini jugalah ayah jadi tidak memiliki foto dahan selama masa-masa 40 hari awal karena tidak diperbolehkan oleh mitos yang dipercayai.
Baru setelah 40 hari itu lewat akhirnya ayah bisa puas mengabadikan aksi-aksi dahan untuk dibawa pulang ke Jakarta sebagai obat kangen saat ayah terpaksa jauh dari dahan dan ibu.

lovely baby came


Akhirnya... buah hati yang ayah-ibu nantikan benar-benar telah datang di pelukan. Saat malam belum begitu matang, saat desir angin berhembus tenang, saat bulan maulid diagung-agungkan. Datang dan langsung menyapa tanpa perlu lagi kata-kata. Begitu mungil, suci, pasrah, tenang dan wangi yang tak tertandingi. Tak perlu bujuk rayu, senyumnya tak pernah terlihat ragu.
Si kecil datang saat petang dan ayah hanya bisa datang saat subuh menjelang. Bagai pahlawan kalah perang, ayah datang membawa kekecewaan karena tak bisa segera terbang. Waktu itu, kota kecil itu, masih terlelap dalam senyap. Belum banyak aktivitas yang biasanya cukup membuat sesak napas & suasana. Bis antar kota yang membawa ayah berhenti di pasar kota. Tidak seperti biasa, bila malam larut bis tak perlu melingkar kota.
Baru saja ayah meloncat dari pintu depan bis yang tak berhenti total, belasan tokang bejak dan tukang ojek ramai berebut tawarkan layanan. Bayangkan... tengah malam saat subuh menjelang. Dan orasng-orang ini berebut untuk bekerja. Bagaimana bisa orang-orang menyebut bangsa ini adalah bangsa pemalas?
Ayah tak buru-buru tentukan pilihan. Ingin sejenak menghisap udara malam. Menghirup dalam-dalam biarkan penuhi kerongkongan dan dada. Dingin... bisa bantu membuat pilihan yang tepat. Akhirnya dengan satu becak yang dipilih acak, ayah meluncur ke klinik dimana ibu telah melahirkan. Sekali dua nanya... akhirnya ayah pun tiba di ruang dimana ibu, yangti dan si kecil dahan tengah menantikan. Pelan derit pintu yang dibuka ayah bangunkan ibu, yangti dan terkecuali dahan. Pelan ayah ucapkan salam. Ibu tersenyum di sudut ruang. Istirahat terlentang di tempat tidur pasien. Gurat wajah puas, bahagia, lega yang tak terhingga terlihat jelas pada wajah ibu yang masih terlihat pucat kecapaian.
Yangti ada di sisi kiri. Istirahat ditemani supri, bocah lugu yang setiap waktu membantu yangti. Di tengah tapi tidak tepat di tengah-tengah. Agak mendekat ke ranjang yangti, dahan terlelap di tempat tidur bayi. Asyik memeluk mimpi sembari berusaha beradaptasi dengan bumi yang mulai sekarang musti diakarabinya.
Pagi ini tak perlu lagi banyak basi-basi. Semua telah sama-sama mengerti. Kehadiran bayi tercinta ini, adalah berkah yang harus disyukuri. Matahari kami yang terangnya kan membawa sukacita abadi.

Thursday, September 20, 2007

Hadiah Terindah Ultah Ayah


27 Maret, hari itu ayah ulang tahun. sayangnya hari itu ayah tak bisa merayakannya bersama ibu. Karena bukan hari libur ayah harus tetap bekerja di Jakarta, sementara ibu musti bersiap-siap menyongsong kelahiran dahan di bumiayu. Itu sebabnya ayah dan ibu tak perlu bersedih. cinta dan persiapan kelahiran buah cinta mereka lebih penting dari segalanya.
Tak terasa akhirnya hari itu pun lewat sudah. Ulang tahun ayah lewat tanpa pesta dan hadiah. Namun bukannya tak berarti apa-apa. Selalu ada cinta antara ayah dan ibu yang selalu menghiasi kisah antara mereka untuk selamanya.
28 Maret 2007, hari itu ayah masih juga disibukkan dengan bermacam kerja di Jakarta.sampai siang, usai jam makan siang ayah mendapatkan telpon dari ibu. Agak gemetar namun tetap tabah, ibu mengabarkan bahwa tanda-tanda kelahiran si kecil sudah semakin kuat. Ibu meminta ayah berdoa dan tetap tenang dalam bekerja. Sejenak ayah tersentak. Meski berusaha tetap tenang, tak urung ayah pun kelabakan. bergegas rampungkan kerja dan bersiap menjemput ibu yang nun jauh di bumiayu. Bagaimanapun juga ayah merasa harus segera bersama ibu. Ayah harus segera ke sana, secepat apa pun yang bisa.
Ternyata benar, tanda-tanda kelahiran si kecil memang tlah tiba. Tukang becak tetangga Yangti segera dipanggil. Ditemani Yangti ibu pun pergi dengan becak ke tempat bidan imung.
Sesampainya di bidang Imung ibu langsung ditangani. Sebenarnya bidan Imung bukanlah orang asing lagi bagi ibu dan Yangti. Anak bidan Imung yang sekarang juga menjadi bidan adalah teman sekolah yang cukup akrab dengan tante inung. Tapi lagi-lagi penanganan layanan kesehatan di Indonesia memang menjengkelkan. Ketika sedang sakit-sakitnya ibu menahan mules dan mengalami pembukaan kelahiran, pegawai bidan imung malah sibuk menanyakan nama, alamat, no KTP, siapa yang bertanggungjawab dan sebagainya. Benar-benar mengenaskan. Cermin buruknya layanan medis di Indonesia ternyata tak hanya berhenti di kota. Pelan-pelan sepertinya telah menyelusup ke kehidupan masyarakat daerah yang seharusnya lebih beradap dan manusiawi.
Uang benar-benar telah menjadi dewa, bahkan disaat orang mengerang.
Untungnya, pegawai di bidang Imung tersebut belumlah begitu tercemar. Saat kejengkelan ibu memuncak dan orang tersebut dibentak, pegawai itupun lebih mau sedikit bersabar. Setidaknya sedikit lebih bagus dibanding pegawai layanan kesehatan kota yang benar-benar meletakkan keterjaminan uang di atas segala layanannya.

Didampingi yangti yang tiba-tiba menjadi jagoan ibu pun menjalani prosesi hidup mati sebuah kelahiran yang benar-benar tak kan terlupakan. Hebatnya Yangti benarbenar menjadi jagoan. Biasanya setiap ada orang sakit, yangti selalu panik dan ikutan sakit sendiri. Baru sekedar mendengar saja bahwa ada keluarga yang sakit, yangti biasanya langsung bolak-balik ke kemar mandi karena buang-buang air.
Detik-detik berjalan menegangkan. Ayah masih di terminal,ibu mengerang kesakitan. Ayah berkeringat kegerahan, ibu bermandi keringat kesakitan, yangti berkeringat berusaha tabah. Ayah duduk tengadah di kursi bis buluk tak ber-AC. Ibu duduk tak karuan, kadang telentang, kadang mengangkang, kadang mengerang menahan sakit dan kadang menggigit bibir bertahan. Yangti berjalan bolak-balik berusaha mengusir khawatir.

Sekejab bis ayah tlah meninggalkan Jakarta. Bis meluncur lancar masuk tol tanpa hambatan. Tak lama para penumpang mulai terkantuk-kantuk keenakan. Namun di kursi Ayah makin gelisah tak karuan. Ingin terbang sekejab mata langsung ada di samping ibu sekarang juga. Ibu masih mengerang kesakitan. Mengatur napas sesuai yang dibutuhkan. Berusaha tenang sesuai hitungan. Namun bidan Imung malah ketakutan. Sepertinya ada masalah yang tak bisa dia selesaikan. Akhirnya bidan Imung dibantu anaknya bidan Ika, temennya tante Inung, menyerah. Konon si kecil agak berulah. Meski pembukaan ibu telah cukup tapi si kecil masih belum mau turun ke bawah. Lagi-lagi kembali. Akhirnya dengan naik becak, ibu ditemani sebecak oleh bidan Ika, dan yangti dan bidan imung di becak lain berangkat memboyong ibu ke Klinik bersalin milik dokter Hadi. Dokter terahli di Bumiayu dan juga di Purwokerto. Kebetulan dokter dan istrinya yang juga bidan sedang ada di tempat. Akhirnya ibu pun segera mendapatkan penanganan yang semestinya.
Anehnya, berbeda dengan apa yang diprediksi oleh bidan Imung yang sebelumnya mengatakan bahwa si kecil akan lahir agak terlambat yaitu sekitar pukul 02.00 WIB malam, ternyata di depan dokter ahli si kecil tak lagi bandel. Tak butuh waktu lama lagi, ternyata si kecil sudah langsung bersiap-siap meluncur ke dunia ini.
Matahari belum lama tenggelam. Sisa cahaya-nya masih lembut tinggalkan terang yang buram. Bintang-bintang mulai berkedip lemah. Daun pepohonan tengadah. Sayup angin mendesir pelan. Sentuh daun-daun bergoyang senandungkan harapan. Tepat menjelang Azan Isya berkumandang, jerit tangisan yang nyaring melengking menyapa malam. Angin kembali mendesir pelan. Daun-daun bergoyang, makin khusyu gumamkan syukur Tuhan. Tak perduli darah yang berlepotan, Yangti bangkit bawa si kecil. Merunduk pelan-pelan dan yakin bisikkan Adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri.
Di jalan bis ayah melaju kencang. tenang... sampai tiba-tiba sebuah batu agak besar terantuk roda yang bundar. Ayah tersentak dalam kegelisahan yang makin tak tertahankan. Bis bergoyang agak keras. Pintu kaca bis terkuak sedikit. Angin mendesir cukup kencang. Tampiasnya menepis tipis daun telinga ayah. Sebelum pergi terusik masik, desirangin seperti berbisik pada ayah. "Hadiah terindah ultah ayah telah ada di pelukan ibu tersayang. Met ultah ayah..."

Di Pingir Lapangan, Di Depan Kali


Tanah kosong itu mirip lapangan bola. Pasalnya dua buah gawang sepakbola ada di ujung-ujungnya. Rumput-rumputnya tumbuh acak dan menyebar tak beraturan. Di satu sudut nampak rimbun, di sisi lainnya tumbuh agak jarang sementara di tengah-tengah benar-benar botak dan berlubang seperti kubangan.
Meski tidak bagus namun setiap sore banyak anak-anak yang bermain bola di situ. Apalagi kalau hari Minggu. Ada seorang guru olahraga yang mengajar main bagus pada anak-anak kampung di situ. Memang, lapangan itu tidaklah bagus, tapi pemandangan yang nampak dari lapangan itu benar-benar indah. Dari jauh nampak gunung Slamet, yang puncaknya jarang terlihat karena selalu tersaput awan dan kabut. Sepanjang jalan ke arah gunung Slamet tersebut, nampak sawah membentang yang hijau dan terhampar luas.
Lapangan "Pendawa" begitulah kira-kira orang menyebutnya. Karena ada di sekitar lapangan PEndawa tersebut maka daerah tersebut disebut juga sebagai komplek lapangan Pendawa. Di daerah inilah rumah Yangti-nya Dahan berada. Rumah sedang yang sederhana itu tepatnya berada di sisi selatan dari lapangan Pendawa. Tepat di pinggir selatan lapangan tersebut. Akibatnya setiap ada bola yang tertendang melenceng, tak jarang genteng rumah YangTi menjadi rusak dan bocor.
Namun tanpa takut selalu bocor, rumah YangTi memang menghadap ke lapangan itu. Jadi tak perlu keluar rumah kita bisa melihat pertandingan yang berlangsung di lapangan melalui jendela depan rumah yang semuanya berupa kaca.
Rumah Yangti tidaklah besar, namun juga tak bisa disebut kecil. Soalnya bagian depan rumah masih bisa menampung beberapa bangku sekolah yang selalu digunakan YangTi untuk mengajar anak-anak desa mengenai menjahit dan modiste. Meski muridnya selalu ramai, tapi Yangti tak pernah kecapean dan malas untuk mengajar. Dengan sabar yangti membimbing mereka sampai dua kali sehari. Sekali seperti jam-jam sekolah pada umumnya yaitu waktu pagi, dan sekali lagi setelah jam makan siang buat murid-murid yang masih ingin memperjelas pelajaran.
Rumah yangti bukanlah terbuat dari keramik yang mahal. Tapi rumah ini selalu terjaga kebersihannya. Tak kalah dengan hotel Yangti rajin menghias rumah dengan rangkaian bunga yang dipetik sendiri dari taman bunga mini yang ada di depan dan samping rumah.
Namun berbeda dengan rumah2 desa yang benar-benar masih desa, lahan di rumah Yangti cukup terbatas. Itu sebabnya hanya bisa dimanfaatkan untuk membuat taman bunga kecil yang bisa dipakai untuk menyemarakkan rumah.
Tak ada lagi lahan untuk membuat lubang penampungan sampah, namun tak seperti halnya kehidupan di kota, tak ada juga tukang sampah yang mengumpulkan sampah dari rumah-rumah. Sampah dari rumah Yangti cukup dibuang di sungai yang berada beberapa meter di belakang rumah. Cukup mengganggu memang. Namun karena pemerintah kecamatan tak berminat mengurusnya maka kebiasaan itu seperti sudah jadi budaya. Keindahan aliran air yang menerjang bebatuan gunung agak berkurang karenanya. Namun karena aliran air yang tak pernah berhenti, bermacam batu-batuan gunung yang tua, terasah mengkilatoleh alam dan terserak acak di sepanjang sungai masih mampu menyuguhkan keindahan tersendiri bagi sungai itu. Apalagi pohon-pohon rindang masih banyak tumbuh berjajar sepanjang sungai, meliuk-liuk genit tertiup angin seperti menyanyi diiringi oleh gemericik air.
Ya sungai itu masih cukup indah. Tentu saja sangat jauuuuh lebih indah kalau dibandingkan dengan ciliwung. Entah bagaimana ceritanya orang-orang di situ memberi nama sungai ini dengan nama Kali Erang. Karena sungai ini cukup dominan sebagai ciri desa maka desa situ pun juga diberi nama desa Kalierang.
Nah di rumah sederhana berukuran sedang yang berada di pinggir lapangan dan di depan Kali Erang inilah ibu memutuskan untuk menunggu dengan bahagia detik2 kelahiran dahan.

Menata Nyali, Menggalang Percaya Diri


Bagi ayahibu, jauh di tanah rantau, cuma berdua, terkadang terasa berat. tak ada orang-orang tua, yang memiliki selaut pengalaman, yang bisa dijadikan tempat memuaskan pertanyaan. berdua di kehidupan kota yang terkadang terasa sangat egois, menjadikan ibu agak takut untuk melahirkan di Jakarta. Terlalu banyak aral, ketidaktahuan, dan alpa akan kebijakan-kebijakan nenek moyang yang mungkin akan sangat berarti bagi bayi dalam kandungan.
Meski berat karena harus berpisah, akhirnya mendekati hari melahirkan ibu memutuskan untuk pulang ke bumiayu. kota kecil, yang masih berselimut hijau dan sejuk udara pegunungan yang kalau malam cukup terasa menggigilkan tubuh. kota kecamatan, dimana tertoreh janji ayah ibu dulu untuk setia membagi hidup bersama selamanya.
Usai mengantongi ijin cuti hamil dan perasaan jengah karena ogah untuk kembali ke kantor itu, ibu pun di antar ayah naik kereta ke bumiayu.
Tenang, santai, yakin dan penuh harapan ayah dan ibu berangkat ke stasiun saat hari masih pagi. cukup banyak barang-barang yang dibawa ayahibu hari ini. pakaian, kain, daster, dan semua perlengkapan melahirkan tak ada yang ketinggalan. Tak terlupa keranjang tidur dahan yang beresleting sehingga nantinya dahan dapat tidur nyaman tanpa terganggu nyamuk maupun tangan-tangan pembezuk iseng.
Kereta melaju seperti hari-hari sebelumnya. Kencang, stabil dan bergoyang-goyang kiri kanan seimbang. Suaranya tak juga berubah, masih juga seperti hari-hari sebelumnya. berisik, berderit,datang silam bergantian. Kereta melaju merangkaki rel-rel yang lurus ke depan. Menembus kabut pagi, menerjang semburat mentari. Di sepinggiran rel, kehidupan jakarta mulai menggeliat geli. Orang-orang seperti pulang dari mengubur mimpi. Mulai kembali bekerja tanpa toleransi, untuk mimpi-mimpi mereka yang tak juga terdekapi.
Ayah ibu di satu kursi. Berpegangan tangan menikmati.Perjalanan suci buat si buah hati. Nampak di kaca jendela kereta, carut marut Jakarta tersaput pergi. Tak ada lagi pengikis nyali yang membebani ibu. Tertinggal rasa percaya diri menyambut hadirnya buah hati, di kota nenek moyang sejati. Si buah hati akan dilahirkan sama di tempat ibu dulu dilahirkan. Tak ada lagi ragu di hati. Hanya tinggal tunggu kereta berhenti. Pada stasiun lama yang tak bosan menanti.

Wednesday, September 19, 2007

Rumah Bersih di Kampung Sederhana





hari demi hari terus berlalu. Jakarta masih saja gerah, sesak, sarat polusi dan berisik. didorong oleh perlakuan semang yang semena-mena, memugar rumah tanpa peduli pada pengontrak, ayah & ibu memutuskan untuk pindah rumah ke daerah yang lebih hijau dari pada yang sekarang.
Memang membutuhkan kocek yang lebih gede. Namun rumah baru yang ditempati ayahibu jauh lebih nyaman dibanding rumah lama. Pertama jauh dari banjir, kedua lokasinya masih cukup hijau, masih ada cukup banyak tanah lapang dan pohon-pohon besar yang menyebar. Cukup kuat untuk sedikit membagi oksigen hasil asimilasi sehingga udara tidaklah begitu menyesakkan dada. Ketiga karena berupa komplek perumahan yang cukup ekslusif dan bergebang jadinya tempat ini terbukti sangat aman. Di rumah inilah akhirnya untuk beberapa saat ibu bisa lebih tenang merasakan geliat-geliat nakal dahan di dalam perut. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, ibu selalu memaksa ayah yang dengan sukarela mau menemani ibu jalan-jalan di sekitar lokasi perumahan. Suasana kampung yang cukup sederhana membuat acara jalan-jalan terasa lebih nyaman. Sejenak kita bisa terlena dan lupa bahwa kampung ini masih ada di tengah jakarta. Hanya beberapa jengkal ke luar jalan raya maka kitapun akan kembali terjebak di carut-marut hawa kota yang bikin sengsara.


Memang, meskipun membutuhkan udara segar yang dibagikan tanaman-tanaman rindang, terkadang ibu takut pada tanaman besar yang nampak teduh, tenang, rindang dan tegar menghadang sinar matahari. Temaram sinar yang menggantung dibawahnya tak jarang membuat ibu merinding dan surut ketakutan. Untungnya ayah selalu menemai dengan tenang hingga tanpa sadar cukup jauh ayahibu berjalan melingkari jalan-jalan kampung. Sampai-sampai tetangga kampung merasa heran atas kemampuan ibu untuk berjalan-jalan hingga sejauh itu.
Konon karena ibu rajin jalan-jalan inilah, maka kaki ibu tak sempat mengalami bengkak saat mengandung dahan. Apalagi selain jalan-jalan ibu juga rajin melakukan yoga di sela-sela waktu senggang yang dimilikinya.

Tetap Kerja, Tetap Semangat



Meski mengandungku, ibu tak pernah manja. Ibu tetap semangat bahkan masih terus bekerja. Tak perduli muntah-muntah hingga tandas isi perut setiap pagi. Tak perduli penat kaki dan sendi yang acap menyambangi.
Hanya saja ibu menjadi galak. Kalau ada temen kantor yang merokok sembarangan didekatnya, maka ibu tak segan untuk mengingatkan. Sayangnya tak semua orang punya etika. Kalau sudah diingatkan tapi tetap tak punya etika, ibu pun memilih mengalah. Pergi menghindar atau menutup hidung rapat-rapat. Apa boleh dikata, kata orang bijak orang sabar itu untungnya di depan mata, sedangkan orang yang tak sabar itu ruginya juga di depan mata. Nah tentu untung kalau sabar kan?





Meskipun hamil, pekerjaan ibu bukannya makin ringan, tapi justru makin padat. Tanpa bisa ditolak eh... ibu diminta kantor untuk ikutan supervisi pelatihan aktivis-aktivis perdamaian. Wow... kondisi hamil harus keluar kota dan lama lagi. Benar-benar tugas yang gak enteng tentunya. Untungnya ibu kembali sabar dan bertahan. Suasana lokasi pelatihan yang kebetulan sangat alami menjadi hiburan tersendiri. Sungai besar berbatuan gunung yang airnya gemericik tiada henti dijadikan ninabobo bagi dahan yang masih di dalam perut. Udara segar dan kicau burung di pagi hari dijadikan ibu sebagai pendorong agar dahan nantinya dekat dengan alam. Untungnya dahan pun mengerti. Di sana dahan menjadi anak baik yang tidak mau menyusahkan ibu. Tak mau berulah dan asyik menikmati suasana alami yang ada saja. Hanya saja terkadang ibu merasa kangen banget sama ayah. Kalau ibu sudah kangen berat, dahan yang di dalam perut pun ikut-ikutan kangen. Untungnya ayah rajin menelpon dan main ke lokasi saat kerja sedang jeda.

Monday, September 17, 2007

Nengok YangTi & Wisuda Tante


Pas kandungan ibu masih sekitar 6 bulanan, ada kabar kalo eyang putri sakit. kebetulan waktu itu tante Inung juga akan wisuda sarjananya di Unsoed. Karena menurut ibu kandungannya cukup sehat, kuat dan aman akhirnya ayah dan ibu mengajak dahan menengok yangti sekaligus ikut datang di seremoni wisudanya tante Inung.
Naik taksi sampai di stasiun gambir, ibu nampak segar. Kebetulan udara memang segar. jadwal kereta yang berangkat pagi-pagi buta justru menguntungkan. Udara masih berembun segar. Lalu lalang kesibukan jakarta belum banyak dijalankan. Otomatis polusipun belum banyak tercipta. Ibu bisa menghela napas lega.
Uups... pas duduk menikmati suasana pagi stasiun yang cukup syahdu, tiba-tiba hape ibu berbunyi. Ternyata telpon dari om Andri (pacarnya tante Inung). Om Andri cuma mau ngabarin bahwa tante Inung masuk rumah sakit. Ibu jadi khawatir. Tapi karena eyang juga sakit dan ibu terlanjur di stasiun akhirnya ibu hanya bisa titipin tante Inung ke om Andre. Nampaknya keberadaan om Andre cukup menenangkan hati ibu.



waktu itu adalah pertama kalinya Dahan naek kereta. meski agak pucat karena kehamilannya tapi itu nampak gembira dan ceria. kereta yang berjalan mantap, bergoyang pelan ke kiri kanan, terasa sangat menyenangkan. lagian ayah dan ibu sudah cukup lama tidak pulang main ke bumiayu.
Karena kereta berangkat pagi maka pemandangan di sepanjang jalan terpampang dengan apiknya. Saat melihat sawah, hutan, kebon, sungai dan kampung-kampung yang tersangkut di jendela. Ayah terlihat begitu menikmatinya. Nampaknya sudah cukup lama ayah tidak bermain dengan suasana alam dan kampung. terjebak tak berdaya di belantara Jakarta yang benar-benar bertubuh kota. Kulihat nanar mata ayah. Melihat tak berkedip, kecipak-kecipak gambar-gambar alam desa, sawah dan hutan belantara yang cepat tersampir di beberapa kejap tatap sebelum akhirnya hilang tertinggal cepat laju kereta.

Beauty & Relegy



pelan tapi pasti, perut ibu semakin membuncit. tapi bukannya kelihatan jelek, ibu justru nampak semakin cantik dan anggun. apalagi jika ibu memakai pakaian hamil yang berwarna cerah. sepertinya angin hanya berdesir pelan mengusir gerah. tak berani bertiup lebih kencang dan meruntuhkan daun-daun yang menguning. bunga-bunga belimbing wuluh pun merah bermekaran. samar-samar bakal buahnya yang hijau mengintip di ujung lekukan.



setiap bayi selalu hadir dengan suci. dan suci berarti dekat dengan tuhan. itu sebabnya sejak hamil ayah dan ibu menjadi semakin relegius. rajin sholat dan mengaji. setiap hari ayah tak malas membaca surat Yusuf yang notabene adalah doa agar anak yang dikandung ibu menjadi anak yang sholeh dan cakap seperti halnya nabi Yusuf yang dikisahkan Tuhan lewat surat ini.

Amazing Pregnancy




tak ada burung bangau datang yang membawa gendongan bayi dalam paruhnya. Yang ada hanya ayah yang nakal, yang suka mengganggu ibu di peraduan. anehnya ibu juga tak marah selalu diganggu. segalanya menyatu. hangat. bergelora. padukan jiwa. napas. hingga berpeluh. basah. terkadag mendesah. sampai akhirnya damai terengkuh. tenang. dan ranjang tak lagi berderit.
namun ini selalu terulang. kadang lebih liar, kadang syahdu, kadang lucu, kadang mendayu. ayah dan ibu tak pernah bosan. selalu menyatu jika ada waktu. sampai akhirnya hari itu tiba. benih suci ayah bersemayam tentram. tumbuh pelan-pelan. buncitkan perut ibunda.



ayah ibu senang. si kecil yang dinanti telah datang menjelang. belimbing sayur di depan rumah berkembang. bunganya merah mekar. mengundang lebah berseliweran. Sedangkan ibu mulai ngidam. Tiap pagi hoek-hoek di kamar mandi. Ayah kebingungan. Sampai akhirnya ikutan ngidam. ikutan mual-mual dan doyan makan buah-buah asam pagi-pagi.